Aku menyukai Magrib kedua bulan Ramadhan Tahun 1423 ini. Kesukaan lebih daripada tomat hijau atau kepiting saos tiram yang selama bertahun menjadi menu favoritku. Aku menyukai Magrib ini seperti aku menyukai rotiboy yang malam kemarin dibelikan Dalaf untukku. Memang sukaku pada Magrib ini tak seperti aku menyukai wajah kekasihku yang putih bersih dan tampan itu. Aku jatuh cinta pada Magrib lebih dulu sebelum aku jatuh cinta pada Dalaf ketika kini dia datang ke pelukanku. Jujur saja sesekali aku merasa lebih nikmat bercinta dengan Magrib dibandingkan bercengkrama dengan kekasih hatiku Dalaf. Aku meresa lebih memiliki dan menikmati ciuman lembut bibir Magrib, apalagi pada saat sendiri seperti ini.
Bagiku Magrib kali ini sebagai tanda dari penanda yang ada dalam estetika sastra melepaskan siang Ramahadhan yang begi sesetengah Umat amat melelahkan karena tak bisa makan dan minum. Magrib ini menjamah tubuhku dengan romantic. Keromantisan perpisahan melepas raja siang menelan kekerdilan umat tempat bertafakur. Kehidupan yang kering ibarat sebuah kerisauan diri Dalaf untuk menaklukan semua belantara kegundahan hatinya. Kerisauan yang mengamit segenap raung hatinya karena mendapat nilai B+ di Mata Kuliah Statitika di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Dalaf menyangka nasibnya menyedihkan. Hingga dia terbawa arus perasaannya. Aku sendiri hampir saja terikut irama kesedihannya. Mencoba berpikir dengan hati bukan logika seperti yang biasa aku lakukan. Aku mencoba mengolah jalannya otakku, sedangkan kenyataannya tak ada satu manusia pun yang mampu melakukannya.
Kegelisahannya semakin diperkuat diperkuat dengan kelemahan lahiriah yang seperti sudah menjadi fitrah saja bagi Dalaf ketika melewati rumah mantannya yang bernam Mawar. Kelemahan sang diri pada prinsipnya merupakan bagian yang tak perlu kusesali. Menyesali kelemahan dirinya yang tak bisa melenyapkan masa lalunya bersama Mawar adalah satu kebodohan bagiku. Aku kembalikan diriku pada pikir logikaku. Menuntutnya untuk membuang wanita itu dari dalaf adalah lambing ketidakberanianku melawan takdir. Perbuatan tak jauh lebih buruk daripada membunuh diriku sendiri. Itu menjadi titik kelemahanku menjalin perhubungan yang dibangun dengan rasa percaya ini. Kenyataannya banyak orang yang merasa pantas dan terhormat mengakhiri hidupnya ketimbang melakukan kelemahannya. Aku tak mau menjadi orang yang lemah seperti itu. Aku berani melewati dan mencintai Dalaf yang sarat dengan masa lalu yang suram sama seperti aku memeluk senja ini dengan hati yang damai.
Kesendirian ini membuat aku semakin mentakjubi Magrib. Aku fokuskan pada mega merah begitu menyentuh lembut hatiku. Aku selalu melihat mendesah nafasku pada suatu sisi istimewa di hatiku. Magrib adalah saat bercinta dengan Zat yang melindungi muka bumi dan orang-orang sibuk mengatur jadwal bercinta dengan pasangan mereka masing-masing. Karena aku dan Dalaf telah berjanji untuk menjauhkan diri di bulan yang suci ini demi menjaga sucinya niat kami dalam ajang pernikahan itu, aku lebih memilih untuk mencintai Magrib dengan sepenuh hatiku. Dengan mendengarkan lagu An-Naba’ dan Musik “Bermuka masam” yang terdapat dalam sebuah surat Al_Quran. Sangat sayang sekali tak ada surah yang berarti “Orang bergigi rapat” seperti permintaan Dalaf. Aku ingin mendapatkan jadwal kencanku bersama Magrib ini, di hamparan panjang sebuah suci permadani. Nanti apa bila ku dan Magrib berada di puncak kenikmatan itu, sudah tentu menetesi permata kebahagiaan satu persatu dari kelopak mataku. Aku ingin mendapatkannya lebih awal dan setelah itu aku akan membisikan ke telinga kekasihku yang tadi tertidur “Kandaaaa.. Pulanglah. Keluarga kanda menunggu untuk menikmati perbukaan bersama kanda. Dinda mau sendiri bercinta dengan Magrib. Dinda ingin bermesraan dengannya.
Satu hal yang ingin ku nyatakan pada Dalaf. Pada saat ini aku membutuhkannya, tapi aku lebih rela dia menikmati ibadahnya. Aku ingin dia tahu bahwa keinginan tak selalunya menjadi kenyataan. Seperti dia menginginkan Nilai A tapi yang didapatkan adalah nilai B+. Cukup sederhana dan simpel sekali perjalanan hidup ini. Paginya kita sibuk membenahi diri agar siap menghadapi tantangan siang dan supaya tidak tertindas dalam deru persaingan. Allah memberikan nilai sebagai cerminan atas usaha kita selama ini buakn untuk mengukur kepintaran atau ketidakpintaran kita di dalam belajar. Lebih baik tersenyum dari harus mengikuti luka yang tanpa sengaja dibuat oleh dosen kanda. Tidak kita iri pada senja yang emngiringin Magrib, kita dibuai dengan berjuta kemesraan dengan orang-orang yang kita cintai. Saat yang membawa sekantong gelap adalah saat kita mencas kembali tenaga, memulihkan stamina dan mengharap keberkahan hidup kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pagi, petang dan malam tak mampu mengubah nilai itu sayangku. Tidakkah kanda bersyukur dinda ada disini menemani kanda yang lagi keasyikan mengingat masa lalu bersama Mawar sambil menatap laptop dengan mengerjakan sertifikasi seorang Doktor di FKIP UIR. Tidakkah kanda bersyukur, dinda masih setia menemani kanda, menggenggam erat tangan kanda seraya berucap “Bersabarlah sayang. Kanda pasti bisa kuat. La-Tahzan” di saat hatinya tersayat-sayat oleh lakumu yang tak mampu melepaskan Mawar. Masihkah kanda bersedih, ketika dinda masih bisa mengahdiahkan senyum di saat menyaksikan kanda gagal menstipo kenang lalu itu. Aku masih bisa tersenyum. Karena menikmati kesedihan bukanlah dapat menyembuhkan luka. Aku bisa berpikir logika. Kejujuran dalaf adalah segala-galanya dibandingkan masa lalunya bersama Mawar. Mencintai Dalaf berarti mencintai masa lalu Dalaf. Hidup akan nikmat, ketika kita mampu menikmati saat suka, duka dan lara dengan ikhlas seraya bercinta dengan Magrib. Begitulah ritme hidup yang aku pahami, sangat sederhana.
Aku seperti orang-orang di dekat lingungan kerjaku. Sebagai seorang dosen. Gajiku sangat menyenangkan kedua orang tuaku. Itu karena mereka adalah pasangan yang bersahaja hidupnya tanpa mengharapkan harta berlimpah dariku. Mereka begitu ikhlas mendampingiku walau harus mengorbankan kerinduannya untuk selalu bersamaku.
Dalaf, kamu selalu saja cemburu ketika aku kirimkan pesan singkat bahwa aku ingin bercinta dengan Magrib. Kamu tidak boleh cemburu, karena cintaku padamu tak mungkin tergantikan dengan yang lain. Tapi Magrib, aku kira aku lebih tepat menyebutkannya sebagai jelmaan dirimu saja. Biar aku tidak dikira selingkuh. Ya, karena hampir satu jam aku memaku di sini, di lobi tempat kita bercinta. Tempat kau menyuapi aku makan. Di ujung pecan baru, tepi bibir kota Kampar kita, hanya senyum dan tatapan manjamu yang selalu menggantung di pelupuk mataku. Dalaf Aku merinduimu. Jangan kau Tanya berapa besarnya.
Hembusan angin malam yang serasa nafasmu kini merayap segenap keberanianku melawan rasa cemburu itu. Karena kehadiranmu lebih aku rindukan dari semua luka yang pernah tercipta antara kita. Lukisan alam yang tak mampu disaingi oleh lukisan Monalisa sekaliber apapun, karena lukisan Allah begitu sempurna dan teramat indah, tak terkalahkan merayap pada setiap seluruhmu. Wajahmu. Bibirmu. Jemarimu. Dan seluruh sudutmu.
Sayang.. semoga Allah mengambil keresahan yang ada dalam hatimu akibat nilai B+ dan kenanganmu bersama Mawar. Kau harus tahu. Aku disini selalu setia menunggumu untuk bercinta. Aku mencintaimu seperti ku mencintai Magrib ini.
Kehidupan yang kau anggap rumit yang sebenarnya wujud karena kealpaanmu untuk menghadirkan rasa ikhlas dalam hidupmu. Kealpaan sejenak yang mampu mencuri senyum manis yang diturunkan Almarhumah ibumu. Dirimu kalah pada kelemahan sebuah penilaiain yang notabenenya sudah menjadi entitas seorang manusia. Kau lupa akan penilaian Allah itu lebih baik jika dirimu ikhlas dan berbaik sangka pada orang-orang yang telah mencoba membuatmu jatuh. Lupakah dirimu, engkau tak pernah terjatuh akibat tolakan itu? Karena aku yakin kau begitu tegar dengan semua yang pernah aku lihat dirimu dalam melawan semua kebatilan yang kita saksikan di lingkunngan kerja kita. Buat apalagi disalahkan kelemahan itu. Aku saja tidak pernah menyalahkan dirimu yang masih mencintai Mawar dan menyayangi Meysa Putia, disaat aku telah melupakan masa laluku demi dirimu. Semua itu sangat manusiawi sekali. Ciptaan Tuhan yang sempurna tak semestinya diterjemahkan sebagai lagu tanpa nada dan suara.
Dalaf… apakah tidak terlalu naïf apabila memaksakan diri menarik sebuah kesimpulan yang hanya melatari asumsi-asumsi yang tak berdasar sama sekali. Sehebat apapun akal manusia, tetaplah sebagai ciptaan Allah. Ada kalanya dia mencapai puncak cemerlang yang berlian tapi tetap merunduk seperti ilmu padi. Tapi satu ketika ia menjadi sangat tidak berguna apa-apa ketika hati mampu mengalahkan segalanya. Sebagi makhluk social, kita tidak terlepas dari aspek penilaian. Adakalanya kita sebgai penilai, ada saatnya kita dinilai. Seperti kita yang terkadang menilai B, kita juga harus siap dinilai B. Bukankah Allah itu adalah zat yang sempurna. Sedangkan kita tidak bisa sesempurna DIA. Kita melalu fase hidup yang unik dan menarik atau kau lebih mengenal dengan istilah LUCU (sampai saat ini aku belum begitu paham dengan maksud perkataanmu itu), tapi bukan sebagai kesempurnaan tanpa batas. Alam pun akan binasa galaksi dan tata surya juga akan lebur. Otak manusia pun telah menangkap sinyal-sinyal itu bahwa alam benar-benar akan binasa dan sirna.
Dalaf kuciptakan cerita pendek ini sebagai pengganti diriku di malam-malam ibadahmu. Kesadaran akan pentingnya hari esok janganlah sampai membuatmu tersemutkan hingga kaki-kai yang kurus itu menyendalkan dirimu saying. Ada yang berbahagia ketika dirimu bersedih. Satu yang paling pasti. Musuh manusia akan terbahak-bahak melihat dirimu terluka begini. Kenyataan hidup harus ditelah sebagai obat hati. Kesadaran pada dimensi metafisik seperti itu sebenarnya tidak harus menjerat pemikiran pada prasangka yang tidak beralasan. Kau boleh percaya akan pikiranku ini. Tapi aku Cuma bisa berpikir sambil mencoba merasakan gundahnya hatimu yang tak mampu aku lukiskan atau aku tuliskan dalam cerpen ini.
Jika kujadikan kelemahanku ini satu hal penting dalam hidupku, maka aku akan menjadi manusia paling rapuh Dalaf. Kau tahu begitu banyak penderitaan yang aku lewati dalam setiap kembangan senyum di bibirku. Tak akan pernah aku biarkan rasa sakit menguasai seluruh tubuhku. Sakit karena gagal. Aku merasa cukup. Bahkan sesekali aku sangat nikmat dengan tikaman luka yang aku terima. Asalakan dirimu elalu jujur padaku Dalaf. Aku percaya pada setiap katamu.
Aku saksikan betapa sempurnaaanya ciptaan Allah melalui dirimu, masa lalumu, perasaanmu yang menggebu. Kelengkapan dan keindahan ciptaan-Nya itu, aku hanya menilai dalam tatapanku terhadap Magrib ini, sebagai seorang manusia biasa yang juga dibekali dengan seperangkat mekanisme biologi dan fisik yang membuat aku mampu bertahan dalam pertarungan hidup. Pahitnya sebuah kenangan aku jadikan jalan untuk aku menemukan jati diriku yang ikhlas mencapai ridho Allah. Jika aku bercita-cita mendapatkannya, maka aku harus bertarung dengan pahitnya sebuah perjuangan. Karena aku ingin jadi pemenang. Bukan orang yang gagal.
Aku sudah terbiasa tidur dengan selimut semangat dari moto hidupmu. Menjalani hidup tidak seperti roda yang berputar, tetapi mengalir seperti air hingga bebas menemui laut lepas. Bagiku kita adalah pemenang yang bahagia hati dan dirinya bukan pecundang yang jiwanya selalu merasa gelisah. Keindahan ciptaan Allah pada ala mini ku pikir menjadi satu kerugian jika diisi oleh orang yang kalah. Kita kan binasa jika kita tidak bersyukur. Magrib adalah nikmat terindah. Tak salah aku bercinta dengan Magrib ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar