Selasa, 16 Agustus 2011

Cinta DALAF dan EMBUN di Medan

Ayah... Malam ini ku tak bisa tidur merindukanmu.

Ayah... Walaupun tidak Ayah ungkapkan. Tapi aku tau Ayah marah padaku. Saat Ayah marah tadi. Aku benar-benar sedih. Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku tak tahu harus buat apa lagi. Ku tutup tesis, lalu aku mulai menulis tentangmu.

Ayah... Aku mohon padamu jangan curiga padaku. Aku benar-benar tersiksa saat ini. Hidupku terasa pahit sekali saat Ayah marah tadi. Rasanya aku ingin lari saja.
Ayah….aku ingin Ayah menyadari posisi aku. Aku hanya manusia yang lemah terkadang jadi korban perasaan seperti saat ini. Jujur aku tipe perempuan yang tak bisa dimarah oleh orang yang aku sayangi.

Ayah... Aku tak bisa berbicara apa lagi. Aku hanya bisa menangis saat ini. Aku ingin Ayah meyadari hal berikut:
CINTA. Seperti air bila disekat ia akan mengeluarkan energI yang maha dahsyad. Tenaganya mampu meluluhlantakkan sesuatu daerah. Ibarat kekuatan tsuanami yang menghacurkan Aceh. Begitulah cinta yang terlalu akan merusak. Seperti cintaku pada nama yang Ayah tak mau aku menyebutnya, cinta yang tak berujung telah merusakkan dan menghacurkan hatiku.

Ayah… kini kualirkan cinta dan sayangku padamu secara perlahan, meskipun dulu pernah aku sekat. Aku melakukan itu agar CINTA tidak merusak dan menutup mataku dari apa-apa yang sebenarnya bakk bagiku.

Ayah... Maukah bergabung denganku? Mari kita ikuti rentaknya cinta kita seperti meyusuri sungai yang kelak kita akan sampai ke muara yang kita namakan bahagia. Meskipun pada dasarnya cara kita mencintai adalah berbeda.
Pertama aku mencintaimu apa adanya dan aku tak takut kehilanganmu. Aku tidak tahu kapan itu. Aku tidak tau kapan aku mulai tertarik padamu. Secara perlahan namun pasti aku tidak bisa lari dari aliran sungai itu. Apa aku harus membuang nama yang Ayah benci itu. Atau aku harus menujumu. Tapi semakin lama aku semakin menujumu. Semakin mendekat. Tak ada satupun orang yang dapat aku tanyakan tentang hatiku. Aliran cinta ini benar-benar mengajakku berenang. Mandi indah di danaunya. Aku terasa bersih. Aku mulai berpikir sendiri. Aku mau menjalani saja apa adanya. Tapi aku sendiri tak tau, apa adanya itu bagaimana? Seperti apa? mungkinkah sama seperti pergi ke sebuah negara, yang aku tidak tahu apa nama negaranya, aku tidak tahu dimana tempatnya.
Ayah... Aku benar tidak tahu dengan apa adanya. Janjipun sulit untuk kuucapkan. Berjanji untuk tidak menghubunginya lagi. Aku memang melakukan itu. Tapi dia terus menyapaku. Seperti yang Ayah tanyakan tadi. Aku tak tau kenapa Ayah bertanya tentangnya. Mungkinkah Ayah mencintai secara penuh. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku ingin mencintaimu apa adanya. Sehingga aku harus jujur padamu tentang chating dia. Andai aku tidak mencintaimu, aku sudah tentu menipunmu, supaya kabut tidak tercipta padamu sore ini. Kalau aku membisu mungkin tangan ini tak mampu menciptakan warkah tentang untuk sekian kalinya.
Ku lihat Ayah mulai marah. Ada sedikit riak kekecewaan yang terbayang pada otakku. Lalu aku mulai lagi bertanya.
“Apakah aku harus mencintai apa adanya? Sudahkah aku melakukannya? Sudahkan aku menjalankannya? Ikrar janji aku ingin sehidup semati denganmu pun tidak mampu aku ucapkan meskipun itu biasa dilakukan oleh setiap pasangan yang saling mengasihi. Aku tak mau berjanji karena aku tidak mau membuka peluang untuk mengingkari. Seperti aku tidak mau kapan permulaan yang akan mencipta kerugian berbentuk perpisahan. Kita sudah maklum kan Ayah, hidup tidak ada yang kekal. Bukankah kita telah menghayati keindahan surah Ar-Rahman. Aku ingin mencintaimu secara perlahan dan apa adanya. Meskipun aku tak pernah tahu apa maksud sebenar dari ‘mencintai apa adanya” itu.
Ayah... Aku teringat sebuah novel yang berjudul “ombak senja” novel yang mengajari aku untuk perlahan mencintaimu. Aku mencintaimu seperti aku pernah merasa sakitnya kehilangan Sesutu yang tak pernah aku miliki. Aku mencintamu karena darimu aku dapati sayap untuk aku mencari arti sebenar cinta sejati. Aku bukanlah pengarang novel itu. tapi aku ingin mencintai apa adanya. Mencintaimu sore ini. Hari ini. Esok. Seperti nanti aku tidak akan di sisimu lagi.
Ayah aku ingin mencintaimu apa adanya. Meskipun aku tidak tau itu. Aku seperti berkejar bersama waktu. Seperti perselingkuhanmu dengan buku. Dan aku ingin setiap waktu yang Ayah ingat tentang cinta selepas semua aktifitasmu, itu adalah aku. Aku juga ingin seperti Hamsad Rangkuti yang mampu berkata-kata lewat pemerannya di depan pantai dalam ceritanya yang berjudul Tiga Bibir yaitu “Maukah Ayah menhilangkan bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” Aku mau melupakannya dengan kehadiranmu. Apakah Ayah bisa memahamiku? Aku ingin mencintaimu apa adanya, tanpa takut kehilanganmu. Karena Ayah telah membuatku selalu menujumu, setiap waktu.
Ayah... Aku teringat kembali bacaanku pada buku Ronggeng Dukuh Paruk yang menasehatiku tentang bagaimana menghargai kesempatan mencintai. “Saling mencintai atau musnah” itulah kata si Rasus. Aku tidak tau Ayah. Apakah hari esok masih milikku. Karena itu, kucintai engAyah apa adanya. Tanpa takut kehilanganmu.
Ayah... Mencitaiku secara penuh. Ayah pernah mencintai dan Ayah pernah kehilangan Sesutu yang pernah Ayah miliki. Kehilangan tersebut telah mengajarkanmu arti mencintai secara penuh.
Ayah... Benar-benar menghargai aku. Ayah mencintaiku dan takut kehilanganku. Ayah mencintaiku seperti akan berpisah. Sebelum akhirnya perpisahan itu menjadi hal yang nyata, entah dengan cara seperti apa, juga entah kapan, dimana. Meskipun yang kita cita-citakan adalah bersatu dalam panggilan keluarga sakinah. Apabila Ayah belajar dari arti sakitnya kehilangan hal yang tak pernah memiliki seperti yang terjadi padaku, maka Ayah juga akan belajar menjaga dan menghargai aku yang telah Ayah miliki. Bukankah begitu?
Kita sama Ayah, Cuma pengalaman kita saja yang berbeda. Pernah ku dengar pesan orang pintar” mencintai sekedarnya saja.” Sebab kata terlalu bukanlah punya kita melainkan milik Allah.
Ayah taukan hari ini orang benar-benar mencinta, besok jadi benar-benar membenci. Ayah apakah ini yang dinamakan ‘mencintai apa adanya?” Seperti kalimat yang kupetik dari majalah Annida tahun berapa aku pun sudah lupa “Cintailah seseorang itu seujung kukumu, meskipun kecil lama-lama ia akan tumbuh subur.”

Dua cara yang berbeda. Tapi sebenarnya bisa kita satukan dalam aliran sungai kita. Caramu mencintaku secara penuh dan takut kehilangan dengan caraku mencintaimu apa adanya dan tak takut akan kehilangan. Kalau begitu kita saling mencitai dengan penuh, tetapi harus apa adanya. Dengan tidak mematikan logika, dan membiarkan rasa tumbuh mengalir secara perlahan. Agar tak tercipta peluang cinta kita menjadi benci.
Ayah... Bukankah berenang bersama mengikuti arus cinta yang lapang pada kebebasan berarti kepercayaan, pada kepercayaan mengandungi keikhlasan, pada keihlasan bertaut kasih sayang yang pada keberanian melarang ketika diantara kita ada yang salah.
Aras 5 PTSL UKM, 13 November 2009.



Tidak ada komentar: