Senin, 08 Agustus 2011

Cinta Embun dan Daun (2)

Cinta lejit tatkala dunia tak berpenghuni, pada sebuah zaman yang tak berpola. Lahirnya tiba-tiba saja, saat sejarah tak bertulis pada semesta yang dialuni nada-nada dilatarbelakangi rasa kekaguman pada sebuah wujud hawa oleh adam. Ia menjadi raja, karena ia tanpa ketakutan, kekecewaan, kesedihan, kemunafikan dan tidak ada kematian yang menimbulkan penyesalan.
Ketulusan cinta Adam dan Hawa menjangkiti embun dan daun, kedua manusia itu berada pada barisan makhluk-makhluk suci. Tak sedikit ranjau yang hampir menembusi liku-liku fatamorgana disela deretan jiwa-jiwa santun. Ia mengalir seperti air di dekat dan getar hati kedua makhluk yang kini diacungkan sermbilu-sembilu oleh keluarga, pimpinan bahkan sahabat, musuh-musuh serta orang menginginkan kedua-dua sosok tersebut.
Cinta menggulirkan sejarah pada hati yang bening itu, menjadi sebuah perdebatan. Padahal dikedua insan tersebut cinta sebagai ladang bagi tumbuhnya padi-padi tanpa syarat perbedaan. Daun menjadi tanah yang menumbuhi padi, sedangkan embun memilih daun dijadikan tempat menemui kebahagiaan yang tanpa batas. Seperti mengguyurnya air menuju samudra lepas.
Di samudra tersebut daun dan embun memposisikan diri sebagai buih-buih yang nengapung dipermukaan. Tidak ada kebohongan, tidak ada kepalsuan, mereka hanya tertedah pada kebenaran hati dan logika mereka. Meskipun ada hadangan dari sembilu-sembilu tadi. Di atas permukaan laut, mereka bersentuhan dengan dunia yang melahirkan ketulusan tak ternilai, dikegarangan yang tak menipu. Mereka dapat mendalami kedalaman laut dengan hati dan logika mereka. Hingga mereka menemukan kekuasaan Allah Azza Wajalla dalam sebaik kalimat cinta karena Allah. Laut mereka jadikan tempat untuk masing-masing menilai kepositipan dari kenegatipan-kenegatipan sifat mereka selama ini. Hingga menimbulkan energi cinta yang tak terhalang oleh pemegang-pemegang sembilu yang mempropaganda di dalam public speaking.
Bersama malam puasa yang ke-6 kuceritakan kitah seorang pria yang bernama daun. Seorang lelaki berasal dari keluarga kaya raya bernasib malang karena tidak kunjung menemukan jawaban dari sholat istikhorahnya. Pria berkulit putih hidung yang dari kecilnya mancung (menurutnya) bertinggi badan 173 berambut kasar, beralis tebal, bermata indah telah setahun kehilangan orang yang paling dia cintai. Dia telah kehilangan idenya. Dia mengenal sosok embun ketika usia percintaannya  beranjak pada 1,5 tahun dengan wanita Mesya putia. Kedekatan hadir pada jiwa yang jauh daun di Bandung di dekatkan oleh Allah bersama embun di Riau melalui kesucian hati yang tanpa tergoreskan oleh nafsu kedengkian, sebut saja namanya cinta. Cinta antara mereka sebenarnya bukanlah cinta terlarang yang pernah dikemukakan dalam barisan fb milik embun. Cinta mereka mencari pelabuhan di dermaga bersama ganasnya siang yang melangkah menapaki pijakan. Sejak saat itu kedua insan ini tak lagi bisa dipisahkan walaupun berada pada keputusan keluarga daun untuk memperistrikan Mesya Putia. Cinta menjadi milik mereka sebagai harta yang paling berharga, tak terikat oleh jenjang martabat, status social, garis silsilah dan tuntutan harta. Pada dasarnya embun berasal dari keluarga yang tergolong susah. Kepalsuan, ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran, kekecewaan, kedamaian, kegembiraan dan kekhusukan adalah seperangkat alat yang melekat pada benang  yang menyilam cinta mereka. Mereka hanya berenang mengitari gelombang-gelombang sehingga semua mata tertuju pada dua sosok tersebut yang menimbulkan retorika-retorika penghianatan pada pimpinan, keluarga dan Meysa Putia. Mereka tidak menghiraukan cekapan-cekapan karena mereka mempunyai maha karya agung yang penuh stilistika berentak estetika tertanam begitu saja dalam sepenggal daging merah di samping denyut jantung dan kerangka-kerangka yang melindunginya. Jujur saja daun menginginkan embun, begitu juga sebaliknya embun sangat memenginginkan daun. Akan tetapi  ketabahan Meysa Putia melunturkan kegarangan niat daun dan embun. Sehingga mereka berujung pada sebuah perpisahan yang tidak mereka inginkan. Daun sebagai pemilik wajah keunikan samudra sebenarnya menemukan kedamaian pada titik-titik embun biarpun hanya sedikit berbandingkan air se samudra luas. Dia melukiskan pesona embun pada kanpas hatinya yang diinginkan oleh Meysa Putia. Kegundahan selalu saja hadir ketika beratnya hati meninggalkan embun saat keharusan akan memilih Meisya. Karena dia melihat ketulusan yang tak mendustai pada gelombang dan komponen-komponen yang menghilangkan  sifat-sifat negatif berupa temperamental, perfeksionis, posesip dan menang sendiri. Sekedip mata kenegatifan itu terhapuskan oleh sebuah senyum ketulusan. Meskipun ia menelan kepahitan ketika harus meninggalkan embun demi Meisya dan keluarga besarnya dia tetap bersyukur dan bangga karena perjalanan renangnya terdampar  pada tempat bernuansa keislaman yang dipenuhi keelokan dan kemolekan. Tempat itu bernama Mesjid Agung Annur Pekanbaru.
Pada suatu ketika tempat itu mereka juluki rumah cinta. Karena tercipta dari gerakan anak-anak ombak yang bergerak melangkahi barisan tepian pantai samudra di sebuah Magrib menjelang Isya, tempat daun menceritakan sosok ibu pada embun. Di balik jendela sambil bercerita mereka memandangi senyum purnama yan tidak terglobalisasi oleh kelipan bintang-bintang. Mereka dipertemukan di rumah Allah ini dalam keadaan cinta yang padat sekat adat, budaya, tatanan normatif. Mereka disatukan disebuah cinta yang sipertentangkan oleh asal, derajat, harkat dan riuh rendah orang-orang berpengaruh di sekitar mereka. Merekapun ditempatkan pada cermin  yang membingkai bayangan-bayangan sendiri. Bayangan tersebut memaksa mereka menciptakan jarak yang pada dasarnya tidak tertuliskan tapi harus terlaksana. Pemilihan akan Meisya untuk pendamping daun membuat hati pada halaman embun bernodakan  kepahitan.
Perpisahan mereka pada sebuah hari yang belum mengantarkan malam pada tepian pagi, daun harus berpisah dari embun. Meraka dan cintanya terpisahkan karena bahasa alam yang tak sanggup mereka baca leksikalnya. Sebuah cinta harus terkubur bersama tatapan sayu sang rembulan yang hendak berteduh dari wajah matahari. Kepergian embun menuju ilahi  membuat daun berlari kencang menjahui dunia. Lalu melemparkannya pada tepian yang menulisi aroma dalam sosok yang tidak ada seakan ada. Daun menjadi seorang yang dikenal lebih perkasa dalam mengharungi sejarah kehidupannya bersama Meisya.

Tidak ada komentar: