Hidup bagaikan sebercak embun di dedaunan. Menunggu saat saja ia terjatuh. Begitu jugalah aku yang saat ini menunggu titik kehancuran. Aku mencari tiap kesalahan yang tak pernah kami lakukan. Keadaan yang memaksakan kami untuk berpisah. Sungguh embun ingin selala berada di dedaun itu. karena di situ dia merasakan damai dan menjadi tempat paling tinggi.
Pohon menjadikan embun sebagai putri yang selalu dia rawat dan di jaga. Pohon senang ketika ada embun yang selalu mendinginkan dirinya. Kebersamaan antara embun dan pohon saling melengkapi dan memberikan damai dan kenyamanan yang tak bisa dicarikan dari yang lain.
Embun kini... sendiri. Sedangkan pohon melambaikan tangan untuk memautkan cincin di tangan lain. Demi mempertimbangkan keluarga, pohon telah meninggal embun sendiri yang masih basah dan terjatuh di tanah.
Embun mungkin harus kembali ke tempat asalnya. Tapi Allah begitu lambat memerintahkan Malaikat Maut untuk menjemputnya. Dia kini. Bergelimpangan di atas tanah. Lubang untuk kotak persegi itu belum digali karena belum ada suara yang mengharuskan penggali kubur membawa cangkul.
Kini Embun harus mematung diri. Menunggu tanggal 24 September yang sangat menyakitkan itu. Embun mungkin meneteskan hari dengan segala resah kegundahan yang tak berujung.
Embun yang berada di atas tanah meninggalkan bercak sebelum masuk Allah mengirim malaikat maut menjemput hadirnya. Kini berkas itu tak bisa terhapuskan karena bergulung dengan debu. terbang hilang ke mana-mana. Embun menunggu Daun mesra bercinta di Syurga ALLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar