Senin, 08 Agustus 2011

Ketika Embun merindukan Daun.

Tak lagi ada suara HP yang berdering di kancah telinga Embun. Sebuah panggilan yang bisa memunculkan senyum di hati Embun. Tidak juga sebuah pesan singkat yang bertulis

"Dinda... mmmmmuuuaaahhh."

Atau yang lain. Kini Embun merasakan arti kesendirian yang amat dia takutkan. Entah kenapa jiwanya menjadi runtuh.

Tak bisakah Meysa mengizinkan Daun menghubungi Embun. Merelakan setetes aja dari selautan kebahagiaan yang ia dapat dari Daun. Padahal suara Daun adalah syifa bagi embun yang kini benar-benar dia butuhkan.

Tak berkuasa Embun menahan rindu yang telah memanah hatinya. Hidup penuh dengan tangis bukanlah bagian dari sisinya. Senyum yang selalu terwujudkan di bibirnya bukanlah senyum palsu yang membohongi hatinya, tapi senyum adalah bentuk ketabahan yang dia rasakan kita hatinya tersayat. Senyum sebagai lambang keikhlasan dari hatinya untuk sebuah keadaan yang sulit untuk dia terima di memorinya.

Tapi apatah yang lebih penting dari sebuah kesabaran.

"Sabar menahan rindu."

"Sabar ketika dilukai"

"Sabar untuk sebuah kehilangan yang sulit dicerna oleh akal sehat."

Rindu yang sangat dalam ini dititipkan kepada Allah. Sungguh Embun tak mau mengnyakiti hati Meysa. Dikorbankannya hati dan hidupnya untuk Meysa.

Rindu itu semakin menggamit hatinya. Ingin dia berteriak. Tapi semua mata menujunya. Tak mungkin sebagai pemimpin dia bisa melakukan itu.

Dia hanya bisa menyudut di sisi ruang yang kini menjadi tempat penuh keramaian. Dia terasa sendiri saat orang-orang mengelilinginya. Hanya senyum saja yang bisa ia berikan buat orang-orang itu. Senyum yang menjemput masuk air mata ke dalam hatinya yang sangat merindukan Daun..

Allah... sampaikanlah rasa rindu Embun kepada Daun.

Tidak ada komentar: