Apakah aku seorang kuli tinta? Ketika pena jadi panah untuk aliran sungai nyaliku meruncing menembus badai. Karena dengan ini aku dapat mengosongkan otakku dari bangunan pikiran kokoh yang kotor. Aku hanya ingin mentahtakan untaian kenangan indah bersama bersama seseorang
“Mobil ini bagus kan?” jemari lentiknya meliuk-liuk menunjukkan sebuah mobil BMW.
”Ia. bagus.”
“Pemiliknya gantengkan?”
“Ia” Jawab Dedi ikhlas.
Yessi Firdia Ningsih, gadis ceriwis yang memiliki rambut sepinggul. Dari jauh sudah kelihatan menggoda. Ia selalu melekakkan jepitan yang beraneka jenis. Tidak kalah lagi, bibir mungil kepunyaannya selalu merekah. Hidungnya mancung. Sekali tatap mata beningnya, membuat insan yang bernama laki-laki tergiur dalam angan yang tak pasti. Rasa ingin memiliki hadir dalam sesaat. Mimpi indah ingin selalu di gendong untuk hayalan sepanjang zaman. Begitu juga penyandang nama lengkap Dedi Irawan.
Di keramain pesta. Dedi menyimpan Malunya pada keluarga besar Yessi. Dia berdiri bersama Andre pemilik BMW. Mengucapkan Selamat Pengantin Baru pada mantannya. Tangannya yang dulu pernah digenggam dan dicium, kini tak mau lagi dia salami. Benar-benar terasa jijik. Masih segar diingatannya, gadis lembut yang dulu ia cintai, telah terlena dalam pelukan Andre. Kini menikah dengan lelaki lain. Lebih kaya dibanding Andre.
Beku. Terasa cairan api mengalir. Apa lagi yang paling besar dari marah. Diam. Hilang sudah asanya. Pupus. Permata bening mulai mengalirkan anak sungai di pelupuk matanya. Seakan tidak percaya dengan drama baru yang tlah ia tonton tadi. Terngiang kalimat cinta yesi di sebuah SMA. Kini bagai duri menusuk kalbu. Setia yang pernah ada. Sirna oleh kilauan permata.
Tiba di rumah. Bulatan pertama jatuh. Tak kuasa menghapus. Jika disekat, terbentuklah danau. Bagai hujan badai yang turun di tengah lautan luas. Terkadang keringat bercucuran bukan karena panas kamarnya. Tetapi. Yessi. Seluruh nafasnya lumpuh seakan terputus jika teringat. Permata Merubah Setia. Haruskah bertahan. Setelah Yessi mendua.
Segera mendapati ibu. Dedi memeluk sosok mulia itu. Kekasih yang telah membentang hamparan bagi sujud-sujudnya. Melahirkan. Membesarkan. Menyayangi. Belum tercipta prestasi tuknya. Tiada tinggi suara walau hentakan kaki meremukkan hatinya. Walau hatinya riuh rendah menyapa camar, tiada marah menyala menghancurkan suasana.
”Nak kekasih itu ibarat sebuah rumah yang memberi keteduhan. Tempat kau melepaskan kelelahan. Jika rumah itu masih membuatmu tersengat teriknya mentari, maka rumah itu tidak ada gunanya. Cari rumah lain tempatmu bersandar.”
”Baik bu.”
”Tadi abangmu mengirim buku dari Cairo.”
Dedi segera mengambil buku yang berjudul “La Tahzan”. Lukisan Desember 2004 itu telah membawanya pada pentas kenyataan yang berbeda. Saat ditawarkan untuk membaca buku itu. Terbayang dalam fikirannya bahawa ini berisi tentang ayat-ayat atau hadist-hadist yang mengajak kita untuk melukukan amar ma’ruf nahi mungkar. Ia cuba memasuki keindahannya dengan membaca maknanya yaitu ”jangan bersedih” Setelah memasuki keindahan karya fenomenal ini, banyak mendapakan ilmu pengetahuan yang baharu. Inilah buku islami yang penuh nasehat, Bahasanya sangat indah kerana disampaikan dengan gaya yang puitis dan bersahaja sehingga tidak memenatkan mata membaca pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Dia dapati luasnya pengetahuan dan goresan pena yang penuh gizi. Kisah yang mengundangi air mata tetap berujung ilmu. Ia tergoda, tetapi nafasnya membujuknya untuk kembali pada agama yang mulia. Matanya yang indah itu sudah tak lagi bersahabat. Ditempatkannya buku itu di atas kepala. Ia tekan tombol itu, tiada lagi suara dan mulai menutup mata.
Selatbaru Juni 2001
Detik demi detik terus menggantikan menit yang ada, sehingga dari hari menjadi minggu sampailah bulan. Hari ulang tahun Ali tiba. Langkahku yang disertai senyum manis itu melaju kencang. Suasana hening saat Ali mengucapkan kata ”Wanita yang paling aku sayang di SMA Negeri 1 Bantan adalah Uji Permata Haty.” Bahuku meninggikan diri dihadapan orang–orang dengan sedikit rekahan bibir mungilku. Saat itu semua mata tertuju kearahku. Siapa yang tak bangga punya kekasih yang pintar.
Berjuta kisah telah kami cipta berdua, bermiliaran memori kami rangkai begitu dekat aku dengannya. Keakraban kami makin terlihat saat belajar di perpustakaan yang ku jaga. Kebahagiaan selalu bertahta di hatiku saat dia duduk di sampingku. Perasaan indah itu kian berdebar kencang dengan arus gelora yang melanda, ia selalu terseyum saat mata cekungku merenung mata coklatnya itu.
Disini hatiku berbunga, senyumkuku mengembang anganku melayang ”Kami akan menikah.” Aku menyayangimu. Kau sahabat terhebat bagiku. Darimu aku selalu belajar matematika. Kau memang Hebat. Mustika Murni saja waktu kelas 1 selalu belajar denganmu. Aku benar-benar beruntung.
Belum sempat bunga di hatiku menebar keharumannya, belum puas aku berhayal, mendadak angin panas bertiup menggersangkannya. Virus perusak datang menyirami bunga cintaku. Belum sempurna senyuman merekah di bibir mungilku. Baru sebentar keceriaan menghiasi wajah kuning lansatku. Tiba-tiba kilatan petir meluncur dari kedua belah bibir laki-laki yang ku kira sungguh-sungguh mencintaiku.
”Uji… dah tau pacar Ali?
”Belum.”
“Namanya Zahra Riana. Dia sangat cantik. Ali sangat mencintai dia.”
”o o.”
”Tapi…”
“Kenapa?”
“Ali juga suka sama Uji. Ali jahatkan Ji?”
Semua di luar dugaanku. Kenapa akhirnya seperti ini. Aku lalu membohonginya. Aku mematung diri. Aku tak tau apa yang terjadi, aku hanya diam terpaku dengan kalimat yang kuucapkan. Pilu. Aku kehilangan cinta yang tak pernah kumiliki. Aku tak kuasa menahan tangis. Dia sahabat aku. Demi kebahagiaannya, aku rela menjadi lilin. Terbakar demi menerangi mereka berdua. Dengan hati yang remuk redam. Kugerakkan bibirku tuk berucap.
“Aku hanya mengaggapmu sebagai sahabat Li. Tak lebih.”
Pekan Baru 2004-2008
Pertama kali aku mengenalnya di rektorat. Saat Ika mengenalkan dia pada aku dan Atik. Aku juga berkenalan dengan teman akrabnya Dery, Afrizal, dan Memet. Dedi tidak begitu menjadi perhatianku. Wah aku melihat matanya tertuju pada gadis berbaju kotak merah. Gadis yang tertunduk itu adalah Zahra Riana, cantik. Putih. Lembut. Segala kesempurnaan ada padanya. Dia menunduk malu. Sikap itu membuat dedi suka padanya. Terdengar kabar Dedi menyatakan suka padanya. Dia ditolak karena dia mencintai Ali. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu. Terakhir ku dengar waktu gladi resik di rektorat juga. Ketika nama-nama pemuncak Fakultas dipanggil untuk membaca Janji Mahasiswa. Aku sebenarnya masuk di antara nama-nama itu karena aku adalah pemuncak 1 FKIP. Aku tidak berani maju karena kebiasaanku memakai sandal jepit. Aku takut di marah oleh pelatih. Keesokan harinya aku tersalah memutar badan setelah menerima piagam Pemuncak UNRI dan bersalaman dengan Rektor UNRI. Malu.
Bandung September 2015
Sobekan kertas itu terdengar jauh dari sudut mimpi. Malam masih muda. Aku masih ditemani rayapan lampu dinding umpama angkut-angkut. Cahaya samar, yang disimpannya di dinding kaca tak beratap. Aku teringat saat itu, aku merobek bingkisan kado mungil yang berwarna merah tua. Lukisam masa lampau terbayang di langit-langit ingatan. Ia tetap tegar menggantung di benak pikiran. Ia juga masih tersusun rapi seperti barisan PASKIBRAKA pada hati dan perasaanku.
Aku bangun mengangkat tubuhku. Melangkahkan kaki panjangku karena teringat sesuatu yang menyimpan semua rahasiaku. Segera kucari benda itu, sebuah diari bertubuh sedang menjadi sangkar sebuah photo. Pada bingkai yang berkaca plastik milik diari itu, terlukis gambar dua orang insan yang berada di bawah pohon rindang.
Lukisan itu adalah photoku bersama matahariku. Ia begitu baik dan begitu menyayangi diriku. Kini dia telah menikah dengan wanita pilihan ibunya. Bukan kepalang cantik, Hafizah Quran lagi. Siapalah aku jika dibandingkan dengan wanita lembut bercadar itu. sesuai dengan yang diimpikan Dedi sewaktu dia Chat denganku di facebook. Wanita itu begitu teduh. Karena keteduhannyalah membuat aku ikhlas melepaskan Dedi.
Di hari pernikahan mereka, aku melanjutkan pengembaraan intelektualku ke Jepang. Lalu mengabdikan diri di Universitas Padjajaran Bandung kerana di minta oleh Prof. Fatimah Djaja Sudarma.
Dedi laki-laki yang pandai. Ini telah diakui oleh beberapa temanku seperti Mustika Murni, Lukmanul Hakim, Deri, Memet, Reno, termasuk juga Ali Subroto pernah mengakui itu pada sebuah percakapnku dengannya. Dedi juga Baik. Penyayang. Lembut. Paling penting, Dedi telah meletakan posisiku pada derajat yang paling tinggi. Tak pernah dia menyakiti hatiku. Aku merasa menjadi wanita yang paling sempurna. Ku ingat lagi kata-katanya di layar kaca bantuan dunia maya. ”Drimu bagai kiambang hjua mntupi ruang hatiku. Wlu siang mnjauh.kiambg ttp mntup htiku. ku tngkap n k cium salammu.llu ku irim kmbali brsama chya ke ujung sana..” Tak pernah aku lupa kata-kata itu. barisan huruf maupun titik komanya.
Dulu, Sebait hujan menetes menggetarkan jiwa yang gerhana. Menutup dan menghembus detaknya asmara. Memimpin langkah kali berawal dari titik. Aku selalu berjalan dalam bingkai hari. Cipta memori tanpa henti. Tak peduli hidup akan mati. Berjalan, berjalan terus berjalan. Saat aku tau Ali telah berdua dan telah berubah. Aku coret namanya dalam diary hatiku. Rela ku pupus semua kenangan yang tecipta.
Keajaiban terjadi. Benciku musnah marahku lenyap. Saat kedua bola mata itu menatapku. Renungan yang begitu membiusku. Ketakutan sirna. Kasih sayangnya berpotretkan kejujuran yang ku inginkan. Sehingga aku kembali melangkah. Melangkah dan terus melangkah.
Ragaku pergi ke Malaysia untuk mengisi jiwa dengan didikan S2 di University Kabangsaan Malaysia. Tepatnya pada Fakulti FSSK Program Linguistik. Satu disiplin sains yang coba memahami bahasa dari sudut struktur dalaman dengan pendekatan berbagai rumus. Aneh terasa belajar bahasa dengan rumus matematika.
Setelah setahun menimba ilmu di Negara tetangga ini. Aku baru mengenal Dedi sampai ke dalamnya. Bermula dari ceritaku bersama Buk Ari Sulistio Rini. Dosen Fisika MIPA UNRI. Sekaligus teman satu mata kuliah Bahasa Melayu Untuk Keperluan Akademik I.
“Kak Kenal Dedi?”
“Dedi Irawan?”
“Mungkin. Anaknya imut. Item Manis.”
“Ia. Pintar anaknya kan?”
“Ia kak.”
“3,5 tahun dah selesai. 2008 dia wisuda.”
“Ia kak. Sama dengan saya bulan Februari.”
“Semester 1 rendah IPKnya.”
“Masalah pacar mungkin kak.”
“Ia mungkin.”
“Semester berikutnya nilainya bagus.”
“Kayaknya dia anak yang rajin Kak.”
“Ia. Tekun. Santai tapi pasti.”
“Ada Facebooknya kak?”
“Ada. Kemaren dia add kakak.”
“Cari aja di FB kak.”
Aku coba mengaddnya lalu dia mengonfirmasikan. Dia mengawali obrolan kami di dunia tak bernyawa itu.
Dedi Irawan : Aslmkm. Ja.”
Uji Permata Haty : Ini Dedi kan? Anak Fisika MIPA Unri?
Dedi Irawan : je
Uji Permata Haty : Dedi yang dulu pernah suka sama Zahra?
Dedi Irawan : Yah. Zahra
Uji Permata Haty : Kulitmu masih hitam maniskan?
Dedi Irawan : Aq dah Putih sekarang.
Uji Permata Haty : Dah hilang identitasmu. Soalnya kamu iedentik dengan itam manis.
Dedi Irawan : Je
Uji Permata Haty : Tapi tak apalah putih. Putih Manis.
Dedi Irawan : Ja
Uji Permata Haty : Ada ya putih manis? Mmmmmmm
Dedi Irawan : Gak tau
Uji Permata haty : eh ada. Buah manggis. Isinya putih dan manis.
Dedi Irawan : Kamu pintar ya.
Kami bercerita banyak. Seolah-olah sudah kenal akrab. Topic pembicaraan kami tidak terlepas dari Zahra dan Ali. Di sinilah aku menegtahui, kalau pengorbananku tidak sia-sia. Ternyata Atik memang baik buat Ali. Dedi saja sanggup ia tolak demi Ali.
Desember 2009. Pemilik mata perayu itu membawa ku ke Teluk Cempedak. Pantai yang terdapat di Kuantan Malaysia. Indah dan damai. Di sana. Pria berkulit hitam manis itu pernah berkarya didiariku. Di bawah payung batu.
Tanpa disengaja tiba-tiba penanya jatuh. Secara spontan, aku meraih pena itu dan dia menuju kearahku. Kami sama-sama memegang pena itu, tanganku berada di bawah tangannya. Lalu kami saling berpandangan.
Matanya begitu tajam. Desiran darahku terasa berhenti. Sunyi malam, bersama samar cahaya. Aku merasa denyut nadiku bukan milikku. Nafas yang ku hirup dan ku hembus bukan hartaku. Pandangan itu membunuh jiwaku. Semua menatap kami. Terpesona. Ombak. Pasir. Biru laut. Taburan dzikir langit-langit hati, bergulir mengalir menjadi tetesan embun bening di jiwaku. Denyut jantung tak terkendali.
Tubuhku bergerak. Membuang semua kesal. Membuang memori yang sudah berkarat. Dia menagantar ku ke pentas halayan tanpa panggung. Aku menari sesukaku. Ke kiri. Kanan. Putar kehadapan. Balik ke belakang. Aku bersorak. Bahagia. Bahagia. Bahagia. Bahagia. Lenyap semua duka. Hilang lara. Masih ku ingat lagi lagu yang mengiringi tarianku malam itu. Suaranya lantang dan merdu. Entah apa judulnya, tapi aku tersave jelas dalam otakku baik kata penggugah jiwa.
Masih terasa sakitnya hatiku
Setelah engkau membagi hatimu
Engkau bilang hanya teman biasamu
Ternyata dia kekasih simpananmu
Kau main hati di belakangku
Kau main api dengan cintamu
Dengan dirinya yang engkau puja
Dengan dirinya yang engkau cinta
Tinggalkanlah aku
Dan jangan pernah kembali lagi
Tak bisa aku tuk memaafkammu
Janganlah merayu aku
Sungguh aku benci kamu
Dan kulupakan kenangan bersamamu
Kini diantara kita berdua
Sudah tak ada lagi arti cinta
Pergilah jaun bersama dirinya
Pergilah engkau bersama dirinya
Tinggalkanlah aku
Dan jangan pernah kembali lagi
Tak bisa aku tuk memaafkammu
Janganlah merayu aku
Sungguh aku benci kamu
Aku kulupakan kenangan bersamamu
Kenapa kau bermain hati dibelakang aku
Dengan dirinya yang engkau cinta
Tinggalkanlah aku
Dan jangan pernah kembali lagi
Tak bisa aku untuk memaafkanmu
Janganlah merayu aku
Sungguh aku benci kamu
Dan kulupakan kenangan bersamamu 4X
Semua tidak bisa ku lukis dengan kata-kata. Biru segala kasih. Ingin kurebut dan kuraih. Pada beribu inginku, hasratku bertanya pada awan. Ku bisikkan bersama biru venus bak seribu bintang. Bernyanyi pada batas hening. Bersama malam yang kian menjauh.
Sebuah hati menangkap bening impian. Pada ribuan malam membiuskan cahaya. Mekar teratai melukiskan seribu bunga. Keinginan yang berjauhan pada alam impian. Menangkap seribu mutiara bening. Bercahayakan seribu cahaya.
Biru teratai berkejaran. Bertaburan bintang-bintang jingga. Bermain bersama biru langit. Langkah-langkah bersama cahaya.
Awan berkejaran tak merebut minatku. Bersama pelangi biru langit menghampiri khayaku dari kejauhan inginku mengulangnya
Kami terus bernyanyi sampai pagi. Terahir kami di pisahkan oleh sebuah lagu yang ku rasa bukan milikku. Tapi aku bahagia dia menyanyikannya untukku. lagu ini juga tidak ku ketahui tajukknya.
Ku kan pergi meninggalkanmu
Ku kan pergi tuk sementara waktu
Lepaskanlah genggaman tanganmu
Izinkanlah kepergianku
Janganlah engkau sedih kasihku
Tersenyumlah dan berhenti menangis
Dan hapuslah air mata dipipimu
Izinkanlah kepergianku
Selamat tinggal Oh sayangku
Setialah untuk menungguku
Biarkan aku tinggal dihatimu
Simpanlah dan jaga slalu
Selamat tinggal Oh sayangku
Setialah untuk menungguku
Di sini aku pastikan kembali
Tentunya untuk dirimu
Sebuah lagu yang aku kagum padanya. Penantianku terbalaskan dengan butiran kata yang mengisi jendela liriknya. Kelembutan musiknya, kesungguhan yang tak bisa aku gantikan. Itulah kado termahal dalam hidupku. Kesepian yang selalu hadir menemaniku sirna oleh waktu, seiring berjalannya cahaya bola malam menuju pagi.
Sejak saat itu. aku seakan selalu melihat Dedi. Tiap hari dedi selalu menarik aku menuju padanya. Setiap malam aku merasa tidur denganya. Dia lelaki pertama yang memelukku. Demi langit dan bumi dia memang indah. Sungguh nikmat bersamanya. Senyumanmu. Kerlinganmu. Bagai candu asmara. Dia membelaiku. Dia mencium keningku. Menggenggam erat tanganku. Menyanyikan aku lagu-lagu cinta penggugah jiwa. Tiap hari. Tiap malam. Tiap hari. Tiap Malam. Tiap hari. Tiap malam. Kehadirannya bak fajar menjemput siang. Tanganku tanpa heti mengetik nama itu. Terkadang aku terpaut oleh khayalku. Sehingga aku alfa, kalau aku sedang bermimpi.
Bengkalis Desember 2020
11 tahun berlalu. Bulan Bengkalis Negeri Junjungan itu belum lama beranjak dari atas kepala ketika suara-suara riuh itu mulai reda. Jendela kaca menyoratkan wajah kusamku. Aku bukan gagal dalam cintaku. Aku tidak terasing dari semua tanya yang selalu ada jawab. Aku tidak tau apakah diriku yang sudah berusia segini masih mentah atau aku masih belum terlalu dewasa untuk mengetahuinya.
Tanpa keheningan diriku selalu menangkap kegaduhan yang mekar itu. Jiwa samarku selalu menjeritkan ketulusan yang seharusnya aku miliki. Namun kehampaan selalu menyelubungi hidupku. Aku heran hidupku selalu mencari tahu matiku. Tapi aku senantiasa tertutup, berselubung kabut, berteman kesunyian, dan arus jiwaku tidak pernah henti mengalir lumpur kesedihan.
Malam seakan berhenti memberikan gelap padaku. Siang seolah-olah akan datang walau tanpa ku undang. Bintang-bintang jingga juga penat berjaga. Biru venus tak lagi ceria. Kabel-kabel listrik yang terpasang menyisihkan banyak tawa untukku. Tirai yang sedang berkibar juga sering ikut ikutan mengejek dari sudut jendela itu. Lelah hatiku untuk meraih malam untuk meraih cita yang usai tak tercapai. Aku ingin sekali mengahiri nafas ini dalam pelukannya. Aku bermunajat. Aku terus berusaha tanpa ada lama untuk bisa kuasa yang menjadi keinginan jiwa.
Zaman sudah mulai jemu denganku. Menghitung dan terus menghitung tanpa ada henti. Mulai dari sudut yang paling jauh sampai dengan sudut yang paling dekat. Aku tak pernah berpikir apa guna dari semua yang aku miliki itu. Aku tak bisa lari dari semua sisi yang memberikan kutukan kepadaku. Sehingga siang yang ku takutkan datang menjelang mendekatkan raganya padaku. Malaikat maut menjemputku. Aku telah mati. Membawa cinta sejati.
Kakiku melangkah ke alam baru yang penuh kesunyian. Bulan tidak menyoroti kepergianku. Kerlipan bintang yang menjadi cahaya indah bagiku bertukar dengan gelap gulita. Istanaku saat ini terbuat dari besi, berbentuk persegi. Pikiranku mulai buntu, otakku kosong. Cermin terus mengintip seolah ingin bercinta denganku. Tidak tertutup kemungkinan ada yang ingin memaki diriku. Aku ingin lari tapi apalah dayaku, semua anggota tubuhku tidak bisa berfungsi lagi. Lalu aku menatap sekelilingku, ada serangga berminat menggerogoti tubuhku yang bersampul dengan pakaian seragam putih. Dalam pembaringanku di atas lantai yang tidak bersofa, kulihat seisi ruang tidak jauh mengalami revolusi.
Bersama derasnya hujan. Sama seperti di pantai dulu. Hujan telah mewakili kehadiranku. Dingin bayu yang menyapa mengantarkan kerinduanku. Dedi menyadari kehaidranku. Dia meneteskan air mata sambil membaca surat terahirku di pusaraku.
Kususuri lembaran istimewa ini
Untukmu matahariku “Dedi”
Doa dan harapanku semoga dirimu dibaluti kebahagiaan dibawah lindungan Allah SWT. Tiada kata seindah bahasa, hanyalah kata maaf yang ku mohon kepadamu. Seandainya terbangan kertas yang bersayap ini, monggendong kata kata yang menyinggung hati dan perasaanmu. Saat ini aku menikmati tembang ciptaanmu.
Dedi….Sekarang aku sadar. Cinta itu tidak buta karena ia tidak punya mata, tapi manusialah yang suka meraba. Jika benih cinta yang semai telah tumbuh dan berbunga maka pujangga cinta akan selalu mencoba melakukan hal yang diluar dugaan. Kenangan indah yang kita ciptakan sangat bermakna. Milyaran memory yang kita rangkai itu tercopy dalam disket hatiku. Mungkin ini takdirku. Namun setiap kisah yang kita rengkuh, akan aku semai dalam taman perasaan ini. Telah aku rawat kenangan itu, sehingga ia tetap tumbuh subur sampai malaikat Izroil menjemputku.
Dedi….Saat diriku tak berdaya, dirimu hadir membawa keberuntungan itu. Dirimu tak berhenti menatapku walau sedetik. Aku bahagia. Langkah kakimu maju dan terus maju. Aku melihat dia adalah keberuntunganmu.
Dedi…Mulai saat ini takkan ku gugu untuk terus maju, karena kakiki telah patah. Tak mampu melaju, harga diriku juga harus ku lagu. Biarkan diriku berhayal tentangmu. Aku bangga dengan pengorbananmu pada orang tuamu yang telah melahirkan dan membesarkmu. Yang penting kita sudah berlaku jujur tanpa ada setitik ragu. Jika diriku mencintaimu aku harus siap kehilangam mu. Bagiku penderitaan adalah suatu cobaan yang kelak akan dibayar dengan kebahagiaan. Cinta dan kasih sayangku yang membisu akan padu dan bermutu dalam henbusan nafasku. Aku menunggumu di syurga itu.“Dedi…Izinkan aku rebah di hatimu. Walau Aku tau istanamu telah terisi oleh wanita pemilik nama Zahra Salsabila.
Sekian dariku,
Bunga Kiambangmu
Uji Permata Haty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar