Dear diary
Kata marah, benci, kesal semuanya tidak dapat aku luahkan di diari kecilku yang mungil. Kenapa harus seperti ini? Satu pertanyaan yang sukar untuk dicari jawabanya. Aku mengimpikan hidup senang, kaya, dan bisa hidup bahagia. Aku tidak perlu membanting tulang untuk mengecam ilmu pendidikan. Tapi impian tidak mudah jadi kenyataan. Itu jawaban yang ku terima dan harus ku telan untuk saat ini.
Ah.......... Sukar memang jika dilafaskan, kisah suka dan duka yang mengantongi jalan hidupku saat aku menempuh perkuliahan. Jalan hidup itu memang tidak bisa mulus selamanya. Tapi bagi aku yang mengalami tidak terlalu kuambil pusing kok. Yang penting aku jalani aja. Yaaaa namanya hidup. Pasti ada suka dan dukanya. PDU 29 JUNI 2004 Aku tidak lulus dalam prites. Sebagai Mahasiswa PBUD yang tidak lulus prites, kami harus mengikuti matrikulasi. Mata kuliah yang kuambil adalah Matematika, Ekonomi, dan Pancasila. Aku masuk Mata Kuliah matematika. Aku grogi. Sampai-sampai aku tak bisa jawab pertanyaan dengan benar. Ketika itu aku di tanya ”7*6 berapa ?” sepele kan. Tapi kok aku jawab 32 ya. Kenapa? Aduh hari pertama aku bertemu dengan yang namanya dosen.
Pak Zulfanam Ritonga. Kasar dengan logak bataknya. Tambah lagi kumisnya yang melenting. Alamak, mati aku. Kalau sepuluh dosen seperti ini. Malunya setengah mati, masak segitunya. Padahal aku tamatan IPA. Sebenarnya gini, aku bisa jawab. Tapi mentalku ini yang salah. Aku tidak melatihnya waktu di SMA dulu. Perasaan grogi yang sangat menaik tiba-tiba membuat darahku terasa mengalir deras. Keringat dinginku sepertinya bercucuran di lantai. Memang aku seram saat memandang dosen yang berwajah sangar dan berkepala botak itu.
Kuliah.......tiada lagi canda tawa yang kurasakan saat ini. Bukan kata kerjakanlah yang biasa kudengar dari bapak dan ibu guru SMA N 1 Bantan dulu. Tapi apa yang harus aku kerjakan ya. Jawaban yang pasti adalah cari sendiri. Jawab sana terserah kamulah. Dari hati kecilku ada bisikan yang selalu membuat aku untuk belajar. Cari sendiri kamu pasti bisa. Disini tak ada Ine dan Nana teman belajar kelompokmu.
Teman-teman baru yang aku kenali sangat akrab seperti Yulia Sofa, Munika Fitriyana, Suliati, Novi, Ana, Putri, Harles, Septo Divo, Mamet, Asmar, Awerpan, Jhon Hendri, Wati, Fahrul Razi, Syafrizal, Deryy, dan yang lucunya ada yang nama panggilannya sama denganku “OJI. Nyantai aja lagi. Apalah arti sebuah nama. Jika ada teman yang usil mengukku dengan nama itu, aku hanya membalas dengan canda. Kami kembar lain ayah beda ibu. Kami satu suku dua pusat. Waktu kecil kami dipisahkan oleh mayat besar.
Kemudian aku berlalu dengan menyunggingkan sedikit senyum yang tak mengharap balas. Swadarma Agutus 2004 Yang aku rasakan di pagi yang redup ini hanyalah kesunyian yang begitu mencekam. Aku begitu merindukan sahabatku Siti Ratna dan Hernita. Biasanya setelah selesai upacara perpisahan kelas dan pembagian lapor kami pergi ke pantai Selatbaru indah. Kami berteriak tanpa ada yang menghalangi jalan keluarnya suara kami. Kami luahkan aja apa yang kami rasakan saat itu. Sehingga perasaan stress akibat tugas yang banyak bisa hilang dengan teriakan tanpa malu.
Kami mengaggap masalah yang ada di otak kami, hilang di telan ombak atau terbang dibawa angin. Benar nggak sih? tapi itu hanya kepercayaan sementara yang kami punya. Jika ada pertanyaan tentang itu kami hanya tertawa. Ketawa, menangis, canda yang biasa tiap hari aku lihat. Kini tidak ada lagi. Keakraban persahabatan kami terpisah oleh cita-cita yang ingin kami capai saat ini. Dulu, masalah satu adalah masalah semua, ceria satu ceria semua, menangis satu menangis semua. Beda cita-cita lah yang telah mencampakkan aku ke pekanbaru ini.
Kini............. Aku benar-benar ingin bercanda dengan mereka. Makan MI SAKURA mentah yang berharga Rp 500. itulah yang menjadi makanan paporit kami ketika sudah selesai kerja kelompok. Tak kira pr kimia, fisika, matematika, buat Laporan Kunjungan tugas mata pelajaran bahasa Indonesia, atau PR apa sajalah. Aku ingin ketemu mereka, aku rindu masa-masa itu. Kapankah masa itu akan kembali. Andai aku bisa menambahkan waktu yang ada, ingin ku sisakan untuk mereka. Jika aku bisa membalikkan waktu yang telah pergi meninggalkan aku ingin ku bersama mereka tuk buat apa saja yang bisa hilangkan dukaku. Mungkainkah masa ini akan terulang lagi? Apakah aku harus kehilangan mereka untuk selama-lamanya. Aku tak tau itu. Yang jelas saat ini aku hanya bisa tatap foto yang terletak di jantung bingklai biru itu. Aku tak mau kehilangan mereka, aku sangat menyayangi mereka.
PDU 2004 Aku melihat wisudanya mbak Neng. Aku ketemu abangnya Toni. Dia langsung bilang tentang Mualim anak Resam. Mantanku waktu SMA. Aduh, rasanya ada petir yang menyambar di telingaku ketika terdengar nama itu. Kamal mantan pacar yang aku tinggal dulu katanya sudah menikah. Lantaklah Aku kembali ke PDU, aku ngobrol dengan Harles. Tak lama kemudian ojik dan teman-teman datang menghampiri kami. Rupanya ada tulus juga. Gimana ya? Suasana hening aku tiba-tiba nyayi ”yang aku mau kau belajar tuk cintai aku tulus dan apa adanya. Tiba-tiba ojik langsung bilang ”tulus dia tu suka ama kamu” tanpa rasa bersalah aku langsung bila ”ia, emang kenapa? Nggak boleh?” Mereka pikir aku benaran suka lagi sama Tulus. Padahal aku Cuma bergurau.
Tembang yang aku nyanyikan itu adalah tembang kenangan aku bersama sahabat karibku sekaligus orang yang pertama aku cintai Aly. Meskipun aku pernah pacaran sejak SD kelas 5 lagi dengan Mizi. Lagu kenangan itu keluar dari celah bibir kami saat mengikuti kegiatan JUMBARA, “Jumpa Bakti Gembira” di Dumai. Aku dan Aly saat itu mengikuti wiasata kota bersama orang Caltex, mengelilingi kota minyak itu. kami bernyayi di tepi kolam, yang kononnya pernah terjadi pembunuhan. Itu hanyalah cerita lama.
Dosen.
Mendengar nama itu saja aku sangat bahagia. Melihat Dosen aku jadi ingin seperti mereka. Dari cara berpakaian mereka terlihat selalu rapi. Penampilan mereka membuat aku tertegun. Aku menggantungkan cita-citaku untuk menjadi dosen. Anganku melayang, terbang entah kemana. Aku tak tau kenapa. Mungkin kah bisa kuraih cita-cita itu, dimasa akan datang. Aku yang telah meninggalkan persahabatan demi sebuah cita-cita ini, yak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Tidak sedikitpun aku biarkan keuntungan berlalu tanpa melekat padaku. Aku tak mau ia hanya mimpi yang indah dalam lena. Hari ini aku terlambat. Lalu dosen yang bersangkutan tidak mengizinkan aku masuk. Aku di suruh keluar tanpa ada toleransi sedikitpun. Aku sakit hati. Akhirnya aku keluar tanpa keikhlasan hati. Mahasiswa tidak ada yang berani berkata, takut nilai terancam.
Memang sih nilai tidak menjamin kepintaran seseorang. Tapi yang punya IPK 4 selalu dianggap orang hebat. Ia lah negara kita saja selalu mengutamakan akademis. Untuk apa kuliah jika tak mampu dapat IPK diatas tiga. Tapi kehidupan di bangku perkuliahan itu sangat menarik. Berkaitan dengan nilai. Banyak kisah yang terjadi. Aku dan teman-teman menghadapi pengalaman yang berbeda dengan nilai.
Teman-teman satu angkatan selalu mengaanggap diriku orang pandai. Padahal aku tidak sepandai yang mereka sangkakan. Pujian yang selalu mereka lontarkan selalu ku aminkan lalu ku balas dengan senyum seraya berdoa “semoga kami semua menjadi orang pintar.” Dari semester satu, aku selalu menjadi pemegang IPK tertinggi.
Satu-satunya orang yang pernah mengalahkan aku adalah Asmar. Anak Taluk Kuantan. Dia memang pintar. Akan tetapi dia agak lambat dan berhati-hati. Aku sedikit lebih tegas dari dia meskipun aku seorang perempuan. Aku bangga sama dia. Dan aku benar-benar salut sama dia. Karena dia ada di kelas aku selalu terpacu untuk belajar. Sekali aku kalah dengan dia, saat aku semester tiga. Pada mata kuliah menulis.
Kali pertama aku mendapat nilai terburuk sepanjang kuliahku. Aku dapat nilai “C”. Teman-teman semua pada protes pada dosen tersebut. Masih ku ingat salah satu dari mereka berkata saat menemui dosen itu “Buk kenapa Roziah dapat C? dia yang paling pintar di kelas kami. Menulis lagi. Dia pemenang lomba cerpen dib alai pustaka kemaren. Kok dia dapat C.” Saat aku benar-benar tidak percaya kenapa aku dapat C. tapi kau diam saja. Ku imbas lagi peristiwa sepanjang aku belajar sama beliau. Aku pernah memprotes ajarannya tentang teori menulis.
Dia berkata buat korangka tulisan dulu. Lalu tulis sesuai dengan kerangka. Lalu aku bicara. “buk itu teori lama buk” “gak, masih di pakai” “ia buk emang masih dipakai. Seiring berjalannya waktu semua ada perubahan. Ide tak pernah bisa di batasi. Kata penulis terkenal ‘Ahmad Tohari’ dalam pertemuan Konggres Cerpen Indonesia 2005 kemaren, beliau berkata ‘Tulis apa yang mau kau tulis. Jangan tentukan awalnya. Tapi mulai, tak perlu terlalu mengikut kerangka tulisan karena dia akan membatasi ide kreatifitas kita’ beliau pernah mengatakan demikian pada semua teman yang terpilih kemaren ada yang ingat. Lalu aku bertanya pada seniorku. “Ibu itu tak suka diprotes, siap-siap ajalah dapat C.” Wah. Ini gak adil. Aku tidak mau protes. Entah kenapa aku yang terkenal dengan kritisnya, tiba-tiba jadi diam saja. Teman-teman pada heran. Aku berpikir saat itu “semua ini pasti ada hikmahnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar