BM Syamsuddin dalam Kaca Mata Al-Azhar dan
Elmustian Rahman
Bm Syamsuddin (1935-1997)
Dan Kepetahannya Oleh: Al Azhar
BM Syamsuddin (lahir 10 Mei 1935 di Selubuk Sedanau
Pulau Tujuh Propinsi Kepulauan Riau). Dia adalah pembela gigih kehidupan teater
tradisional Melayu. Ia menulis dua buku tentang itu, Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981), yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Sejak awal tahun 1996, ia mengidamkan sebuah terbitan berdelau
mengenai bentuk-bentuk teater Melayu di
Kepulauan Riau dan Riau; karena itu, sebelum lebih banyak bersara di rumah
maupun rumah sakit mulai pertengahan tahun 1996, seringlah nampak ia
menimbang-nimang naskah risalahnya itu kemana-mana, untuk menemukan penaja yang
mau menerbitkan naskahnya itu dalam bentuk yang sesuai dengan harapannya.
BM Syamsuddin menjadi dosen luar biasa pada Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP Universitas Islam Riau, untuk mata kuliah ”Teater Tradisional”. Dengan dukungan Hasan Junus, tahun 1988, ia membekali mahasiswanya dengan keterampilan bermain Mendu, dan mempertunjukkan hasilnya di depan khalayak seni kota Pekanbaru. Untuk Hari Raja Ali Haji (Oktober 1996) di Pulau Penyengat, ia berazam menghadirkan pertunjukkan Begawan dari Dabo-Singkep Kepulauan Riau, yang kemudian batal, antara lain memang karena ia tak lagi bisa mengurusnya karena sakit.
Maka setelah meninggal pada 21 Februari 1997 yang lalu,
agaknya kita masih harus menunggu lama adanya orang seperti BM Syamsuddin;
orang yang keprihatinan dan pengabdiannya tidak hanya ditunjukkan melalui
upacara dan kajian serta pemaparan wacana, tapi juga mampu mengajarkan dan
memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu dalam
dunia hari ini.
Oleh karena itu, BM Syamsuddin terlihat percaya diri
saja mengajarkan dan mengelola pertunjukan Mendu
atau Bangsawan, tidak terbeban
oleh fakta bahwa Mendu yang di Pulau
Tujuh bisa dan memang biasa dipertunjukkan bermalam-malam, ‘dipendekkan’
menjadi hanya satu atau dua jam oleh kelompok mahasiswanya di Pekanbaru. Beberapa tahun sebelum
berpulang, BM Syamsuddin suka pula mengimbuhkan bentuk-bentuk seni yang
dikelolanya itu dengan kata ”muda”: Mendu
muda, Bangsawan muda.
Pengimbuhan kata ”muda” tersebut barangkali hanyalah
kiat praktis BM Syamsuddin untuk menghindar dari tuduhan kejam sebagai ’perusak
tradisi’, yang mungkin telah dan akan dilontarkan orang kepadanya. Tapi lebih
dari itu, dari perbuatan BM Syamsuddin, dan dengan kata ”muda” yang
digunakannya itu, kita seperti dituntun memasuki suatu wacana yang menjembatani
atau bahkan mendamaikan percanggahan ”tradisional” dan ”moderen” dalam
tradisi apresiasi dan kritik seni kita.
BM Syamsuddin menikmati realitas yang dapat direkam oleh
lembaga kenangan dan ingatan dalam dirinya. Dalam logika genealogis, kenangan
dan ingatan BM Syamsuddin bermukim di atas, pada peringkat yang sudah ada, dan
siap dioperasikan bila realitas kini memerlukannya. Realitas BM Syamsuddin
ialah realitas mencipta, yang mungkin lebih mudah dipahami dalam
istilah-istilah warisan Melayu, seperti mengarang, menggubah, merangkai,
menyusun, dll., yang memang berkerabat dengan pengertian ”bermmain”.
Bacalah karya-karya yang diwariskannya (berdasarkan
catatan dan kajian yang dibuat sdr. Zaini untuk skripsi S1 pada FKIP
Universitas Islam Riau) berikut ini: naskah lakon (Fatimah Sri Gunung, 1972; Payung
Orang Sekampung-kampung, 1975; Warung
Bulan, 1980; dan Tunggul, 1981);
cerita bersambung di surat kabar Haluan Padang
(Perkawinan di Atas Gelombang, 1979; dan
Ombak Bersabung, 1980); roman (Harimau Kuala, Karya Bunda 1983; Braim Panglima Kasu Darat, Karya Bunda,
1984; Tun Biajid I dan II, Karya Bunda 1984); cerita anak-anak
(Si Kelincing dan SepasangTerompah Nik
Gasi, Balai Pustaka 1981; Batu-Belah
BAtu Bertangkup, BAlai Pustaka 1982; Dua
Beradik Tiga Sekawan, Balai Pustaka 1982; Ligon, Karya Bunda 1983; Cerita
Rakyat dari Batam, Grasindo 1996); dan sejumlah makalah untuk berbagi
persidangan budaya di nusantara; serta
puluhan sajak yang terbit dalam antologi bersama (di Indonesia dan Malaysia),
maupun dalam berbagai surat kabar dan majalah. Juga karya-karya berbentuk
cerpen yang menjadi pilihan utamanya sejak tahun 1990-an (dalam dokumentasi
sdr. Zaini, ada 24 judul) yang diterbitkan antara lain di surat kabar Kompas, Suara Karya Minggu, Riau Pos dan Suara Pembaruan. Hampir tidak ada karya-karya tulisnya itu yang
bebas dari dunia yang digulirkan ke dalam kenangan dan ingatannya oleh realitas
yang sudah ada, baik realitas peristiwa maupun bahasa.
Apakah BM Syamsuddin mengajak pembacanya melepas rindu
belaka? Tidak juga. Sebab Warung Bulan,
misalnya, selain menghisap imajinasi ke dunia kampung pesukuan di lautan
Kepulauan Riau, karya itu juga berbicara tentang rapuh dan malangnya manusia
oleh perang. Gelombang pengungsi dan lembayung langit karena perang di kejauhan
(mungkin perang panjang Vietnam)
coba dimaknakan orang-orang di kampung itu berdasarkan mitos jembalang dan
perempuan haid. Mengaitkan realitas yang diingat denagn keadaan actual yang
sepertyi itu terliahat lebih kentara
lagi dalam cerpen-cerpennya. ”Perempuan
Sampan” (Kompas 30 Desember 1990),
mengisahkan tanggapan gadis-gadis Suku Laut Batin Enam Suku tentang
perkembangan Pulau Batam sekarang. Cerpen ”Toako” (Suara Karya Minggu, 30 Januari 1991) menyesali ketidakpercayaan
budak-budak Melayu pada teknologi tradisional mereka. ”Bintan Sore-sore” (Kompas, 3 Maret 1991) mengisahkan
serik-hidup nelayan masa kini menangkap teripang. Cerpen ”Nang Nora” (Kompas, 8 Desember 1991) mengisahkan
nasib malang
sebuah keluarga yang terpaksa menjual tanahnya seharga Rp. 100/meter untuk
pembangunan hotel di Lagoi Bintan Utara; dan ”Nong Saharah” (Kompas, 21 Februari 1993), mengisahkan
intimidasi pemilik modal pada keluarga-keluarga kampung, sampai-sampai seorang
ibu menjadi gila karenanya.
Pada kebanyakan cerpen-cerpennya, kita dapat merasakan
pertarungan antara ’yang sudah ada’ melawan ’yang tiba’ dalam lembaga kenangan
dan ingatan BM Syamsuddin. Yang tiba dan bakal tiba dahsyatnya bagi ombak dan
gelombang musim utara di Laut Cina Selatan. BM Syamsuddin pergi. Kali ini,
siapa pula dapat menahannya?
Bahasa: Kampung Halaman Yang Gagah, Erotis, Keberanian
Melawan Nestafa Oleh: Elmustian Rahman
Bahasa yang dipakai BM Syamsuddin, cukup menonjol. Ada yang menyebutkan BM
Syam berhasil mengikat pembaca dalam balutan bahasa yang membelit-belit dalam
karyanya, berkelok-belok, berlenggang-lenggok, dan lemah gemulai. Ada juga yang mengatakan
karya-karya BM Syamsuddin berenang di lautan bahasa. Pun ada juga yang
berpendapat keberhasilan karya-karya BM Syamsuddin masuk ke Kompas karena bahasanya yang spesifik,
arkhaik, dst. Pembahasan ini tidak akan melanjutkan persoalan tersebut, tapi
berupaya memahami dan sekaligus menjembatani pemahaman karya-karya BM Syamsudin
yang menyangkut perkara bahasa dalam teks sastra.
Membahas karya-karya sastra BM Syamsudin, adalah juga
membahas kecenderungan-kecenderungan karya sastra pada masa itu yang
memeperlihatkan sosok kulturnya. Karya-karya yang berlatar belakang daerah
tertentu, yang selalu disebut subkultur, diduga akan menjadi persoalan, karena
akibat tumpang-tindihnya bahasa dalam sastra, kata pemerhati sastra. Persoalan
pemahaman dan sosialisasinya di masyarakat, atau mungkin persoalan apresiasi di
sekolah-sekolah. Mungkin itu pula agaknya akhir-akhir ini ada upaya yang
menggelikan, menterjemahkan bahasa Melayu (baca:Malaysia)
ke dalam bahasa Indonesia.
Barangkali ini berangkat dari besarnya mutan lokal dalam karya-karya sastra
orang Melayu, seperti BM Syamsuddin membuat orang merasa perlu menerjemahkan
karya sastra Melayu.
Karya-karya BM Syamsuddin, terlihat kuat penggunaan
aspek lokali (bahasa) sebagai kekuatan. Dengan kata lain pengarang memanfaatkan
aspek bahasa setempat (Melayu) sebagai gaya
berekspresi dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam karya-karya tersebut.
Aspek bahasa tersebut dapat dilihat dalam struktur kalimat, kosa-kata, dan
pengguanaan istilah-istilah yang khas Melayu, ungkapan-ungkapan yang semuanya
arkhaik dan yang memperlihatkan ciri-ciri bahasa Melayu.
BM Syamsuddin tidak hanya memasukkan aspek tertentu dari
kampung halamannya dalam karyanya itu, tetapi juga mampu memberi warna tersendiri
dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi
persoalan-persoalan, uangkapan-ungkapan, sikap, dan kebiasaan-kebiasaan dari
negeri lain di luar kampung halamannya. Dalam karya BM Syamsuddin upayanya itu
bukanlah sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan atau dituduh sesuatu yang
trumpang tindih. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan kampung
halamannya juga menjadi persoalan-persoalan di luar kampungnya.
Kembali pada dasar pekatnya unsur lokali dalam
karya-karya BM Syamsuddin adalah dua persoalan yang dapat dipahami, yaitu
realitas bahasa dan pencitraan bahasa. Realitas bahasa adalah realitas yang
memenjarakan, keterbatasan, membatasi pada objek visual, membatasi pada
pengalaman-pengalam pembaca. Tetapi pencitraan bahasa adalah membebaskan,
memerdekakan dari pemahaman pengalaman. Bahasa-bahasa arkhaik, baik struktur,
kosa-kata, ungkapan, sikap, dan tradisi lokal adalah punya kecenderungan
menggiring kepada realitas spiritual, yang didedahkan BM Syamsuddin, dan
karenanya mampu membebaskan pembaca ke ceruk-ceruk kampung yang mempesona.
Dengan cara ini pengarang mengumbar, dan menebarkan problem sosial yang lebih
menukik untuk membuat hidupnya dan hidup orang lain lebih berarti.
Karya-karya BM Syamsuddin memang tidak hendak memberikan
suasana kehidupan masyarakat yang ideal, dalam arti orang membayangkan satu
dunia dalam pencitraan ideal, tetapi memberikan lukisan bagaimana adanya
keadaan carut-marut kehidupan masyarakatnya, mengabaikan begitu jauh pencitraan
ideal: dalam etika, moral, dan keadilan. Oleh sebab itu, demikian UU Hamidy itu
dalam kaitan pencitraan ini ”bisa menggambarkan hal yang buruk dengan maksud
mendapatkan yang baik.” Ungkapan-ungkapan, idiom-idiom, BM Syamsuddin
melahirkan pencitraan bahasa yang pada gilirannya melawan pada semua yang
mengekang dan menindas pemahaman pembaca, ini merupakan wewenang dan kebenaran
dari masa silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar