Rabu, 25 April 2012

Mengenang Penyair BM Syamsuddin


BM Syamsuddin dalam Kaca Mata Al-Azhar dan Elmustian Rahman

Bm Syamsuddin (1935-1997) Dan Kepetahannya Oleh: Al Azhar
BM Syamsuddin (lahir 10 Mei 1935 di Selubuk Sedanau Pulau Tujuh Propinsi Kepulauan Riau). Dia adalah pembela gigih kehidupan teater tradisional Melayu. Ia menulis dua buku tentang itu, Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981), yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sejak awal tahun 1996, ia mengidamkan sebuah terbitan berdelau mengenai  bentuk-bentuk teater Melayu di Kepulauan Riau dan Riau; karena itu, sebelum lebih banyak bersara di rumah maupun rumah sakit mulai pertengahan tahun 1996, seringlah nampak ia menimbang-nimang naskah risalahnya itu kemana-mana, untuk menemukan penaja yang mau menerbitkan naskahnya itu dalam bentuk yang sesuai dengan harapannya.

BM Syamsuddin menjadi dosen luar biasa pada Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP Universitas Islam Riau, untuk mata kuliah ”Teater Tradisional”. Dengan dukungan Hasan Junus, tahun 1988, ia membekali mahasiswanya dengan keterampilan bermain Mendu, dan mempertunjukkan hasilnya di depan khalayak seni kota Pekanbaru. Untuk Hari Raja Ali Haji (Oktober 1996) di Pulau Penyengat, ia berazam menghadirkan pertunjukkan Begawan dari Dabo-Singkep Kepulauan Riau, yang kemudian batal, antara lain memang karena ia tak lagi bisa mengurusnya karena sakit.
Maka setelah meninggal pada 21 Februari 1997 yang lalu, agaknya kita masih harus menunggu lama adanya orang seperti BM Syamsuddin; orang yang keprihatinan dan pengabdiannya tidak hanya ditunjukkan melalui upacara dan kajian serta pemaparan wacana, tapi juga mampu mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu dalam dunia hari ini.
Oleh karena itu, BM Syamsuddin terlihat percaya diri saja mengajarkan dan mengelola pertunjukan Mendu atau Bangsawan, tidak terbeban oleh fakta bahwa Mendu yang di Pulau Tujuh bisa dan memang biasa dipertunjukkan bermalam-malam, ‘dipendekkan’ menjadi hanya satu atau dua jam oleh kelompok mahasiswanya  di Pekanbaru. Beberapa tahun sebelum berpulang, BM Syamsuddin suka pula mengimbuhkan bentuk-bentuk seni yang dikelolanya itu dengan kata ”muda”: Mendu muda, Bangsawan muda.
Pengimbuhan kata ”muda” tersebut barangkali hanyalah kiat praktis BM Syamsuddin untuk menghindar dari tuduhan kejam sebagai ’perusak tradisi’, yang mungkin telah dan akan dilontarkan orang kepadanya. Tapi lebih dari itu, dari perbuatan BM Syamsuddin, dan dengan kata ”muda” yang digunakannya itu, kita seperti dituntun memasuki suatu wacana yang menjembatani atau bahkan mendamaikan percanggahan ”tradisional” dan ”moderen” dalam tradisi  apresiasi dan kritik seni kita.
BM Syamsuddin menikmati realitas yang dapat direkam oleh lembaga kenangan dan ingatan dalam dirinya. Dalam logika genealogis, kenangan dan ingatan BM Syamsuddin bermukim di atas, pada peringkat yang sudah ada, dan siap dioperasikan bila realitas kini memerlukannya. Realitas BM Syamsuddin ialah realitas mencipta, yang mungkin lebih mudah dipahami dalam istilah-istilah warisan Melayu, seperti mengarang, menggubah, merangkai, menyusun, dll., yang memang berkerabat dengan pengertian ”bermmain”.
Bacalah karya-karya yang diwariskannya (berdasarkan catatan dan kajian yang dibuat sdr. Zaini untuk skripsi S1 pada FKIP Universitas Islam Riau) berikut ini: naskah lakon (Fatimah Sri Gunung, 1972; Payung Orang Sekampung-kampung, 1975; Warung Bulan, 1980; dan Tunggul, 1981); cerita bersambung di surat kabar Haluan Padang (Perkawinan di Atas Gelombang, 1979; dan Ombak Bersabung, 1980); roman (Harimau Kuala, Karya Bunda 1983; Braim Panglima Kasu Darat, Karya Bunda, 1984; Tun Biajid I dan II, Karya Bunda 1984); cerita anak-anak (Si Kelincing dan SepasangTerompah Nik Gasi, Balai Pustaka 1981; Batu-Belah BAtu Bertangkup, BAlai Pustaka 1982; Dua Beradik Tiga Sekawan, Balai Pustaka 1982; Ligon, Karya Bunda 1983; Cerita Rakyat dari Batam, Grasindo 1996); dan sejumlah makalah untuk berbagi persidangan budaya  di nusantara; serta puluhan sajak yang terbit dalam antologi bersama (di Indonesia dan Malaysia), maupun dalam berbagai surat kabar dan majalah. Juga karya-karya berbentuk cerpen yang menjadi pilihan utamanya sejak tahun 1990-an (dalam dokumentasi sdr. Zaini, ada 24 judul) yang diterbitkan antara lain di surat kabar Kompas, Suara Karya Minggu, Riau Pos dan Suara Pembaruan. Hampir tidak ada karya-karya tulisnya itu yang bebas dari dunia yang digulirkan ke dalam kenangan dan ingatannya oleh realitas yang sudah ada, baik realitas peristiwa maupun bahasa.
Apakah BM Syamsuddin mengajak pembacanya melepas rindu belaka? Tidak juga. Sebab Warung Bulan, misalnya, selain menghisap imajinasi ke dunia kampung pesukuan di lautan Kepulauan Riau, karya itu juga berbicara tentang rapuh dan malangnya manusia oleh perang. Gelombang pengungsi dan lembayung langit karena perang di kejauhan (mungkin perang panjang Vietnam) coba dimaknakan orang-orang di kampung itu berdasarkan mitos jembalang dan perempuan haid. Mengaitkan realitas yang diingat denagn keadaan actual yang sepertyi itu terliahat  lebih kentara lagi dalam  cerpen-cerpennya. ”Perempuan Sampan” (Kompas 30 Desember 1990), mengisahkan tanggapan gadis-gadis Suku Laut Batin Enam Suku tentang perkembangan Pulau Batam sekarang. Cerpen ”Toako” (Suara Karya Minggu, 30 Januari 1991) menyesali ketidakpercayaan budak-budak Melayu pada teknologi tradisional mereka. ”Bintan Sore-sore” (Kompas, 3 Maret 1991) mengisahkan serik-hidup nelayan masa kini menangkap teripang. Cerpen ”Nang Nora” (Kompas, 8 Desember 1991) mengisahkan nasib malang sebuah keluarga yang terpaksa menjual tanahnya seharga Rp. 100/meter untuk pembangunan hotel di Lagoi Bintan Utara; dan ”Nong Saharah” (Kompas, 21 Februari 1993), mengisahkan intimidasi pemilik modal pada keluarga-keluarga kampung, sampai-sampai seorang ibu menjadi gila karenanya.
Pada kebanyakan cerpen-cerpennya, kita dapat merasakan pertarungan antara ’yang sudah ada’ melawan ’yang tiba’ dalam lembaga kenangan dan ingatan BM Syamsuddin. Yang tiba dan bakal tiba dahsyatnya bagi ombak dan gelombang musim utara di Laut Cina Selatan. BM Syamsuddin pergi. Kali ini, siapa pula dapat menahannya?
Bahasa: Kampung Halaman Yang Gagah, Erotis, Keberanian Melawan Nestafa Oleh: Elmustian Rahman

Bahasa yang dipakai BM Syamsuddin, cukup menonjol. Ada yang menyebutkan BM Syam berhasil mengikat pembaca dalam balutan bahasa yang membelit-belit dalam karyanya, berkelok-belok, berlenggang-lenggok, dan lemah gemulai. Ada juga yang mengatakan karya-karya BM Syamsuddin berenang di lautan bahasa. Pun ada juga yang berpendapat keberhasilan karya-karya BM Syamsuddin masuk ke Kompas karena bahasanya yang spesifik, arkhaik, dst. Pembahasan ini tidak akan melanjutkan persoalan tersebut, tapi berupaya memahami dan sekaligus menjembatani pemahaman karya-karya BM Syamsudin yang menyangkut perkara bahasa dalam teks sastra.
Membahas karya-karya sastra BM Syamsudin, adalah juga membahas kecenderungan-kecenderungan karya sastra pada masa itu yang memeperlihatkan sosok kulturnya. Karya-karya yang berlatar belakang daerah tertentu, yang selalu disebut subkultur, diduga akan menjadi persoalan, karena akibat tumpang-tindihnya bahasa dalam sastra, kata pemerhati sastra. Persoalan pemahaman dan sosialisasinya di masyarakat, atau mungkin persoalan apresiasi di sekolah-sekolah. Mungkin itu pula agaknya akhir-akhir ini ada upaya yang menggelikan, menterjemahkan bahasa Melayu (baca:Malaysia) ke dalam bahasa Indonesia. Barangkali ini berangkat dari besarnya mutan lokal dalam karya-karya sastra orang Melayu, seperti BM Syamsuddin membuat orang merasa perlu menerjemahkan karya sastra Melayu.
Karya-karya BM Syamsuddin, terlihat kuat penggunaan aspek lokali (bahasa) sebagai kekuatan. Dengan kata lain pengarang memanfaatkan aspek bahasa setempat (Melayu) sebagai gaya berekspresi dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam karya-karya tersebut. Aspek bahasa tersebut dapat dilihat dalam struktur kalimat, kosa-kata, dan pengguanaan istilah-istilah yang khas Melayu, ungkapan-ungkapan yang semuanya arkhaik dan yang memperlihatkan ciri-ciri bahasa Melayu.
BM Syamsuddin tidak hanya memasukkan aspek tertentu dari kampung halamannya dalam karyanya itu, tetapi juga mampu memberi warna tersendiri dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi persoalan-persoalan, uangkapan-ungkapan, sikap, dan kebiasaan-kebiasaan dari negeri lain di luar kampung halamannya. Dalam karya BM Syamsuddin upayanya itu bukanlah sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan atau dituduh sesuatu yang trumpang tindih. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan kampung halamannya juga menjadi persoalan-persoalan di luar kampungnya.
Kembali pada dasar pekatnya unsur lokali dalam karya-karya BM Syamsuddin adalah dua persoalan yang dapat dipahami, yaitu realitas bahasa dan pencitraan bahasa. Realitas bahasa adalah realitas yang memenjarakan, keterbatasan, membatasi pada objek visual, membatasi pada pengalaman-pengalam pembaca. Tetapi pencitraan bahasa adalah membebaskan, memerdekakan dari pemahaman pengalaman. Bahasa-bahasa arkhaik, baik struktur, kosa-kata, ungkapan, sikap, dan tradisi lokal adalah punya kecenderungan menggiring kepada realitas spiritual, yang didedahkan BM Syamsuddin, dan karenanya mampu membebaskan pembaca ke ceruk-ceruk kampung yang mempesona. Dengan cara ini pengarang mengumbar, dan menebarkan problem sosial yang lebih menukik untuk membuat hidupnya dan hidup orang lain lebih berarti.
Karya-karya BM Syamsuddin memang tidak hendak memberikan suasana kehidupan masyarakat yang ideal, dalam arti orang membayangkan satu dunia dalam pencitraan ideal, tetapi memberikan lukisan bagaimana adanya keadaan carut-marut kehidupan masyarakatnya, mengabaikan begitu jauh pencitraan ideal: dalam etika, moral, dan keadilan. Oleh sebab itu, demikian UU Hamidy itu dalam kaitan pencitraan ini ”bisa menggambarkan hal yang buruk dengan maksud mendapatkan yang baik.” Ungkapan-ungkapan, idiom-idiom, BM Syamsuddin melahirkan pencitraan bahasa yang pada gilirannya melawan pada semua yang mengekang dan menindas pemahaman pembaca, ini merupakan wewenang dan kebenaran dari masa silam.  

Tidak ada komentar: