Jumat, 20 April 2012

Analisis Puisi Muhammad Asqalani Eneste


Sudah lama aku tidak menganalisis puisi. Hari ini matakuliah semantik aku menggali kembali penguasaan intelektualku terhadap dunia sastra. Aku coba berlomba dengan mahsiswaku untuk menganalisis puisi.Berikut merupkan janaan mindaku. Semoga bermanfaat.
 BULAN DAN TANDA-TANDANYA
Sejenak aku berhenti menghitung angka
Kuanggap detak waktu leleh dan akan jeda
September yang tinggal dua getar
Membasahi dadaku yang hampir terbakar
Oleh cemburu menggebu tak tahu menahu
Dan januari mendadak sungsang mengikuti
Hatiku yang gersang melahirkan sejuta
Kesalahan yang terlanjur melebur dan hilang
Dan februari, menamai diri sebagai merah
Sewarna jambu ranum dan membuat kagum
Maka telah kuumumkan rampung-rampung
Bahwa di kedalaman ruang angan
Ini tasiran yang kedua saya.
 
Muhammad Asqalani Enesete mengisahkan seorang lelaki yang fisiknya tidak sempurna dala pusinya Bulan dan Tanda-tandanya. Dia tinggal bersama sahabat karibnya (Melki Rahmat aliah Merah) yang tiap hari ia lihat di rumah kosnya. Mereka sekampung asalnya di sebuah Pulau Mengkopot. Sekarang sama-sama berjuang mendapatkan selembar Ijazah di Universitas Islam Riau.
Merah seorang lelaki yang pintar. Semua mengakui itu. Namun, keberuntungan belum tentu jadi miliknya. Sekarang sedang menjaani semester akhir, sedangkan lelaki cacat itu sudah bergelar sarjana tapi belum wisuda. Tiap hari dia mendengar kisah kebahagiaan yang dialami oleh lelaki bertongkat itu. Tiap hari pula ia cemburu.  Setiap rahi jua dia ingin menikmati indahnya hidup dengan perkabaran kelulusan pada orang tua mereka di kampung selalu bertanya kapan ujian sarjana. Berbagai usaha dia lakukan. Namun kenyataannya dosen masih saja belum menandatangani skripsi lelaki berkulit putih dan berwajah tampan mirip Sami Yusuf ini. Tiap kali dia menghitung putaran kipas yang berada tepat di atas matanya yang mendongak ke atas dari kasurnya yang kian kusut. Yang terhitung malah waktu pertemuan yang dijanjikannya kepada kekasihnya Mirna yang dulu sama-sama belajar Kalkulus pernah bermain-main dengan angka.
Detik demi detik. Menit demi menit. Ternyata pertemuan itu tidak berlaku. Kian hari dia mengerti. Lalu sejenak dia berhenti menghitung angka. Dia mencoba menganggap detak waktu leleh dan akan jeda membasahi dadanya yang hampir terbakar Oleh cemburu menggebu pada orang yang tak sempurna. Perasaan yang tak tahu menahu.
Hidupnya semakin hancur dengan angka-angka yang berserakan di meja belajarnya. Semua seakan tak ada artinya. Waktu hanya sebagai ungkapan pilu. Dan januari mendadak sungsang mengikuti hatinya yang gersang melahirkan sejuta kesalahan yang terlanjur melebur dan hilang. Kesalahan yang telah dia lakukan adalah membunuh sahabatnya sendiri.
Dia tak lagi seperti dulu bagi. Hidupnya kian hancur oleh kesalahan-kesalahannya itu. Di tepi sudut penjara itu, sahabat karibnya datang dalam mimpinya dan menamai diri sebagai Mirna pada bulan Februari. Tatapan mata sendu wanita itu sewarna jambu ranum dan membuat kagum. Tanpa sadar wanita dengan suara lembut itu meminta dia menghentakkan kepalanya ke dinding itu. Darah mengucur dari kepalanya. Dia tak tertolongkan.
Maka Rektor Universitas Islam Riau mengumumkan rampung-rampung Bahwa. Sarjana bukanlah untuk dikhayalkan di ke dalaman ruang angan tapi dilogikakan untuk direbut dengan cara belajar dan dihadiahkan kepada orang-orang tercinta.

Tidak ada komentar: