Sudah lama aku tidak menganalisis puisi. Hari ini matakuliah semantik aku menggali kembali penguasaan intelektualku terhadap dunia sastra. Aku coba berlomba dengan mahsiswaku untuk menganalisis puisi.Berikut merupkan janaan mindaku. Semoga bermanfaat.
BULAN DAN TANDA-TANDANYA
Sejenak aku berhenti menghitung
angka
Kuanggap detak waktu leleh dan
akan jeda
September yang tinggal dua getar
Membasahi dadaku yang hampir
terbakar
Oleh cemburu menggebu tak tahu
menahu
Dan januari mendadak sungsang
mengikuti
Hatiku yang gersang melahirkan sejuta
Kesalahan yang terlanjur melebur
dan hilang
Dan februari, menamai diri
sebagai merah
Sewarna jambu ranum dan membuat
kagum
Maka telah kuumumkan
rampung-rampung
Bahwa di kedalaman ruang angan
Ini tasiran yang kedua saya.
Muhammad Asqalani Enesete
mengisahkan seorang lelaki yang fisiknya tidak sempurna dala pusinya Bulan dan Tanda-tandanya. Dia tinggal
bersama sahabat karibnya (Melki Rahmat aliah Merah) yang tiap hari ia lihat di
rumah kosnya. Mereka sekampung asalnya di sebuah Pulau Mengkopot. Sekarang
sama-sama berjuang mendapatkan selembar Ijazah di Universitas Islam Riau.
Merah seorang
lelaki yang pintar. Semua mengakui itu. Namun, keberuntungan belum tentu jadi miliknya. Sekarang sedang menjaani semester akhir, sedangkan lelaki
cacat itu sudah bergelar sarjana tapi belum wisuda. Tiap hari dia mendengar
kisah kebahagiaan yang dialami oleh lelaki bertongkat itu. Tiap hari pula ia
cemburu. Setiap rahi jua dia ingin
menikmati indahnya hidup dengan perkabaran kelulusan pada orang tua mereka di
kampung selalu bertanya kapan ujian sarjana. Berbagai usaha dia lakukan. Namun
kenyataannya dosen masih saja belum menandatangani skripsi lelaki berkulit
putih dan berwajah tampan mirip Sami Yusuf ini. Tiap kali dia menghitung
putaran kipas yang berada tepat di atas matanya yang mendongak ke atas dari
kasurnya yang kian kusut. Yang terhitung malah waktu pertemuan yang dijanjikannya
kepada kekasihnya Mirna yang dulu sama-sama belajar Kalkulus pernah
bermain-main dengan angka.
Detik demi
detik. Menit demi menit. Ternyata pertemuan itu tidak berlaku. Kian hari dia
mengerti. Lalu sejenak dia berhenti menghitung angka. Dia mencoba menganggap
detak waktu leleh dan akan jeda membasahi dadanya yang hampir terbakar Oleh
cemburu menggebu pada orang yang tak sempurna. Perasaan yang tak tahu menahu.
Hidupnya
semakin hancur dengan angka-angka yang berserakan di meja belajarnya. Semua
seakan tak ada artinya. Waktu hanya sebagai ungkapan pilu. Dan januari mendadak
sungsang mengikuti hatinya yang gersang melahirkan sejuta kesalahan yang
terlanjur melebur dan hilang. Kesalahan yang telah dia lakukan adalah membunuh
sahabatnya sendiri.
Dia tak lagi
seperti dulu bagi. Hidupnya kian hancur oleh kesalahan-kesalahannya itu. Di
tepi sudut penjara itu, sahabat karibnya datang dalam mimpinya dan menamai diri
sebagai Mirna pada bulan Februari. Tatapan mata sendu wanita itu sewarna jambu
ranum dan membuat kagum. Tanpa sadar wanita dengan suara lembut itu meminta dia
menghentakkan kepalanya ke dinding itu. Darah mengucur dari kepalanya. Dia tak
tertolongkan.
Maka Rektor
Universitas Islam Riau mengumumkan rampung-rampung Bahwa. Sarjana bukanlah
untuk dikhayalkan di ke dalaman ruang angan tapi dilogikakan untuk direbut
dengan cara belajar dan dihadiahkan kepada orang-orang tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar