Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. (Muhammad: 37)
Senin, 16 Mei 2011
Tukmu Dalaf...
Grand-Zuri Hotel Pekanbaru
”Buruak bana payuang mu diek.”
Tanpa sengaja tanganku begitu ringan menampar wajah orang itu. Aku benci dengan kata tu orang. Dengan payung itu juga aku termotivasi membunuh pria yang selama ini menjadi suamiku. Entah kenapa aku tak pernah cinta dengan lelaki berkepala tiga atas pernikahanku pada Mei 2010 lalu.
Rasa sayang tak pernah hadir dalam hatiku tuk menatap bening tulus niatnya. Aku tau dia juga tak cinta padaku. Kadang aku melihat kemiripan nasibku dengan Ronggeng Sirintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk goresan tinta Ahmad Tohari. Pencinta Rasus yang berujung menyakitkan.
Bedanya cuma aku agak sedikit modern saja. Asrol Kamal telah mewisuda secara sah di hotel depan Mall Pekanbaru ini. Aku menjadi istri keduanya. Tapi tak lama. Karena aku tak suka kasihku dibagi, karena aku selalu jadi nomor satu. Aku menikah dengan Aldo Susanto.
Sampai akhirnya lelaki itu mati ditanganku dan mengantarkan aku ke rumah yang tak berdapur ini. Aku mendekam di bui ini sudah dua tahun tepatnya 12 Mei 2009. Aku memegang erat tiang-tiang penutup ruang pengap ini. Serasa tiang itu seperti tangan Dalaf, yang aku cinta sewaktu aku jadi dosen.
Kewujudannya pada teguran pertama ketika itu, menjadikan aku lebih kagum padanya. Aku mulai berteriak girang, karena dia satu-satunya dosen kontrak yang ikhlas menyapaku saat semua tatapan sinis terarah kepadaku.
Sebelumnya aku harus ulurkan tangan tuk menambah teman, meskipun aku punya banyak teman sebelum aku memijakkan kakiku ke UIR. Tapi namanya orang baru memambawa alam bawah sadarku untuk mengenal mereka untuk mempermudahkan aktivitas di universitas swasta no satu di Riau ini.
DIA berbeda dengan dosen-dosen lain. Hingga secara perlahan aku mengenal seutuhnya sampai ke tunangannya yang bernama mesya putia.
Aku pun mulai memandangnya sebagai adek, walau terkadang ‘adek’ ku rasakan lidah ini mengulang panggilan itu seakan terjepit. Tapi lama kelamaan aku terbiasa. Aku bisa menerima kehadiran dua insan ini.
Aku merindukanmu Dalaf. Seperti rindu yang terakhirku berikan kepada Dedi Irawan Bustami yang menyelingkuhiku bersama Yati Hidayah. Aku mulai memaksa diri untuk lari dari kenyataan ini.
Tapi....
Kakiku telah patah bersama Jumat 12 Mei 2011, katika ku dengan ikhlas mengirimkan doa buat almarhum ibunya yang hanya mampu ku tatap lewat fotonya di FB. Entah kenapa saat itu, aku tanpa ragu mengaji dan berzikir untuk ibunya.
Kini undangan yang mulai basah oleh basuhan permata bening dari sudut alat pemandangku. Masih ku coba untuk tersenyum. Tapi hasilnya nihil. Aku tak mampu menghadirkan untuk semua, apalagi untuk aku sendiri.
Tak seorang pun tahu. Ternyata aku telah jatuh cinta padanya. Semua dosen FKIP termasuk aku menghadiri pesta mewah yang diciptakan oleh istrinya itu. Saat kakiku mulai roboh dan kaku. Seperti kilatan petir yang tajam menusuk jauh ke mataku. Biasnya tak ubah seperti penderita silinder, yang terkurat sakit saat cahaya terang menngejutkan mata secara tiba-tiba.
Kian hari, badanku kian tipis. Setelah pernikahannya, kangker payudara yang lama menemaniku mulai meregut secara perlahan ceriaku. Hanya kekuatan hati yang menggerakkan tangan ini tuk mengakhiri cerita pendek ini.
Dalaf...
Aku ingin rebah dihatimu.... bersambung....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar