Selasa, 27 November 2012

Pemimpin Gagal

Dua kata pada judul tersebut mewakili apa yang tersembuyi dsi otakku saat ini. Entah berujung atau tidak, aku tak pasti dngan semua kabut yang menggelap mata otakku saat. Memoriku tak lah sebagus Aljabar denan ilmu matematikanya. Tapi aku hanyalah sehelai rambut diantara miliayaran bulu yang ada di kepalaku. mungkin botak lebih baik bagiku. 

Itu hanyalah perumpamaan yang menumpang di taman perasaanku. aku hanya pemimpin gagal yang tak berhasil mengajak orang-orang yang aku pimpin kearah yang lebih baik. Aku sebenarnya ingin mereka berhasil lebih dari apa yang aku peroleh saat ini. Aku berharap mereka lebih hebat dari itu, agar mereka tidak menjadi seperti aku. anusia kerdil yang tak berarti apa-apa. Di antara hewan di kebun binatang akau hanya seekor tungau. Aku bak rumput di sebuah hutan aku tak lebih besar dari setetes air yang ada di lautan. Bahkan aku lebih kerdil dari sebutir debu yang menyapa tubuh manusia dalam hiruk pikuk kendaraan.

Seorang dosen harusnya tau apa yang dilakukan. Pengabdian, penelitain, dan pengajaran merupakan tiga pilar yang tak bisa lepas dari status dosen yang kita sandang. Harusnya kita malu dengan pekerjaan yang tertera di KTP (Dosen), ketika kita tidak mau melakukan ketiga pilar tersebut. 

Uang sebenarnya berperan serta dalam kegagalan kepemimpinanku. Memang sedikit aneh, kegagalanku karena kelebihan uang. Ini tentu hal buruk yang tak boleh dicontoh.

Keasyikan mengejar uang membuat dosen lupa akan tugasnya yang dihitung bukanlah berapa banyak karya yang bisa dijamah oleh manusia lain yang ada di bumi ini. Dosen hanya mengajar, memberi ilmu pada setompok manusia yang tak jauh dari lingkungan. Lupa kalau ilmu sesungguhnya akan terasa lebih bemanfaat kertika dia menjadi sebuah tulisan baik berbentuk essai, jurnal, dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, orang yang sudah mati saja bisa dikenali dengan tulisan yang pernah ia hasilkan. Begitulah tingginya kedudukan ilmu yang telah dituliskan dibandingkan dengan ilmu yang dilafaskan. 

Aku berharap kita bisa menyadari hal ini. Kembali memikirkan apa sebenarnya yang harusnya kita berikan layaknya seorang dosen. tak sedikit uang yang bisa kita hasilkan perbulan, tapi pernahkah kita sadari untuk apa uang itu kita gunakan. Tidakkah kita malu pada diri kita sendiri yang menuntut mahasiswa mengerjakan tugas membuat makalah yang harus sesuai dengan kaedah. Tapi kita sendiri tak pernah mengerjakan dua tugas dari tiga pilar yang harus kita kerjakan.

Kita mau melakukan pekejaan yang kita cintai, tapi kita tidak mau mencintai pekerjaan kita.  Sehingga kita hanya mengajar tidak mendidik. Karena mendidik adalah proses menjadikan peserta didik yang tidak tau menjadi tau, yang tidak baik menjadi baik, dan yang tidak bisa menjadi bisa. Bagaimana peserta didik kita menjadi orang yang baik dan banyak tau serta bisa melakukan hal tersebut. Karena proses pendidikan lahir bukan lahir dari proses pengajaran melainkan keikhlasan kita melakukan sesuai dengan tuntutan.

Harusnya kita ikut memberikan konstribusi kepada program studi yang telah kita kenai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita harus menghidupkan prodi yang menjadi perantara untuk kita memenuhi kebutuhan hidup. 

Kontribusi kita bisa dibuktikan dengan memenuhi tiga pilar dosen yang telah kita baca di atas. Selain itu kita juga dituntut menyukseskan program-program yang teah dirancang oleh ketua prodi. Misalnya, kita saat ini punya kesempatan untuk memeriahkan agenda bulan bahasa yang hanya diadakn satu tahun sekali. Mahasiswa tidak hanya butuh ilmu yang diajarkan di kelas. Dengan cara mudah mereka bisa mendapatkan informasi kuliah kita melalui buku , internet, dan sebagainya.

Mahasiswa juga membutuhkan ilmu yang bisa didapatkan dari luar kelas. Sepuluh kegiatan yang diadakan dalam bulan bahasa tahun ini setidaknya memberikan sepuluh pengalaman baru yang lebih bermanfaat .

Harusnya kita malu pada diri kita sendiri bahkan pada pengurus HIMA yang terkadang tidak makan hanya untuk menyukseskan acara ini. Mereka tidur tidak berselimut disaat kita keasyikan dengan mimpi-mimpi indah di atas kasur yang empuk.

Kita tidak pernah direpotkan oleh mahasiswa yang terkadang sudah seperti pengemis meminta pada tangan-tangan penguasa yang mempunyai wewenang untuk membubuh tanda tangan mereka pada sebuah kertas yang akhirnya akan menghasilkan dana yang tak seberapa. Mereka berlarian kesana kemari mengejar sponsor hanya untuk mendapatkan beberapa set piala dan konsumsi yang tidak memadai. Perlu kita sadari, setiap hari panitia hanya memakan nasi dengan sambal tempe tanpa teri. Tapi,  mereka masih tetap tersenyum sembari menciumi tangan kita tiap kali bertemu.

Kita hanya marah-marah ketika acara yang mereka selenggarakan tidak sesuai dengan keinginan. Kita meminta semuanya baik-baik saja, tapi kita tidak pernah memberikan kontribusi pada mereka. Apakah ini adil?

Sungguh aku merasa menjadi pemimpin yang gagal ketika aku meminta kawan-kawan menyukseskan acara ini dengan hanya mengajak mahasiswa menyaksikan acara ini. 

Tapi apa yang berlaku ilmu di kelas lebih anggap gaya dibandingkan dengan pengalaman berharga diacara ini. 

Sungguh aku tidak mengeluh ketika aku harus turun naik tangga mengejar kesana sini melayani mahasiswa meskipun aku ditunjuk sebagai juri. Semua aku lakukan demi kebaikan kita bersama. demi menjaga akreditasi B yang telah kita dapatkan.

Maafkanlah aku karena telah menjadi pemimpin yang gagal. Aku berharap kalian bisa menggantikan aku menjadi seorang pemimpin, tentu saja pemimpin yang berhasil. Terima kasih untuk ananda yang telah bersusah payah menyelenggarakan acara ini. Tidak ada uang yang bisa diberikan melainkan untaian doa semoga kelak kalian menjadi orang yang sukses di dunia maupaun di surga. Amin.

Tidak ada komentar: